Penulis : Miftakhul Saleh
Sejarah singkat
Lengger, istilah yang tidak asing lagi bagi para seniman tari, atau para pecinta tarian, terkhusus di Jawa Tengah, istilah lengger banyak terdengar di wilayah Jawa Tengah bagian tengah (Wonosobo, Temanggung, dan Banjarnegara) juga di wilayah selatan (Banyumas). Dua zona ini yang masih mentradisikan kesenian Lengger hingga saat ini. Namun dengan konsep yang berbeda.
Namun disini penulis akan menulis terkait lengger yang berkembang di zona tengah terutama di Wonosobo, karena diwilayah Temanggung dan Banjarnegara sebagian besar mereka yang melakukan pertunjukan adalah juga orang dari Wonosobo.
Dalam beberapa literatur lengger Wonosobo dikembangkan di desa Janti Selomerto oleh bapak Gondo Winangun pada tahun 1910 an. Dengan konsep kolaborasi penari laki-laki yang memerankan perempuan. Dan ini disebut Lengger Lanang, dengan berkembangnya waktu pada tahun 1970 Ki Hadi Soewarno, dengan pemeran tetap laki-laki namun ditambah dengan karakter topeng yang dikenakan oleh penari. Dan tetap ada pengiring penari wanita sebagai partner dalam melakukan pertunjukan. Dan perkembangan sampai saat ini kolaborasi para penari tidak hanya oleh laki-laki namun para perempuan pun mulai ikut tampil sebagai penari utama bukan sebagai pengiring.
Juga, dengan semakin semaraknya lengger hampir tiap desa di Wonosobo telah memiliki kelompok masing masing sebagai bentuk kecintaan dan melestarikan seni budaya tradisional. Dan sejak beberapa tahun ini dari Pemkab Wonosobo menyelenggarakan pentas kolosal tari Lengger yang dilaksanakan setiap hari jadi Kabupaten Wonosobo dengan diikuti oleh kelompok dan para seniman tari seluruh Wonosobo.
Selukbeluk
Dengan semakin banyaknya kelompok yang terbentuk membuktikan bahwa rakyat Wonosobo memiliki semangat yang tinggi. Semangat ini adalah spirit berkebudayaan masyarakat dalam merawat, melestarikan dan mengembangkan sebuah kebudayaan dengan kearifan lokal dan semangat kebersamaan gotong royong.
Dengan semangat gotong royong dibuktikan dengan saling bahu membahu kelompok dalam melakukan pementasan, seperti melakukan tanggapan (diminta untuk menampilkan pertunjukan) saat ada orang hajatan atau saat hari besar (17 an, Syawalan, dll). Juga dalam bentuk persatuan perkumpulan dari berbagai kelompok misal pager tawon yang hampir didominasi semua penari adalah wanita, dan langgam lagu dibawakan oleh sinden (waranggono), ada pasukan bodrek (bocah do rewang emblek) yang biasa disebut kelompok Jambunan, dengan ciri khas gamelan dengan notasi gamelan Mongkil dan koor langgam (lagu) secara bersama-sama.
Lengger Wonosobo menampilkan perpaduan antara musik (gamelan), tari dan bentuk karakter topeng, yang mana tiap tiap langgam memiliki riwayat cerita berbeda. Dan karakter tari terdapat mode alusan dan mode gagahan.
Penari pengiring yang dibawakan oleh perempuan yang disebut penari Lengger membawakan tari dengan lembut dan penuh senyum (feminis) dengan kostum kebaya, jarik, selendang dan dengan mahkota diujung depan berbentuk kepala merak dan ada jambul seperti ekor merak yang sedang mekar. Sedang untuk penari laki -laki banyak variasi tergantung karakter yang dimainkan, kalau alusan memakai baju Jawa lengan panjang lengkap dengan ikat kepala, jarik, selendang selayaknya abdi keraton. Sedang untuk karakter gagahan ada yang mengenakan baju panjang ada yang tanpa baju dan mengenakan celana layaknya kaum ksatria (prajurit), dan dibelakang dipasang sebilah keris.
Pentas diawali dengan kinayakan sebagai pembukaan dan dilanjutkan dengan karakter alusan, gagahan dan dipungkasi dengan langgam dan tari pitik walik dengan menampilkan gagahan tanpa iringan lengger namun beriringan dengan barongan ( atribut barong berkarakter dan berkostume singa atau macan).
Dalam melakukan pementasan tiap kelompok dipimpin oleh seorang pawang (kasepuhan) yang akan memandu jalannya pentas, juga yang akan mengatur ritme tari apa saja yang akan ditampilkan dalam pementasan tersebut. Sehingga para wiyaga (penabuh gamelan), urutan tari tidak kacau saat pementasan berlangsung.
Karakterpenampilan
Dalam pementasan tari Lengger dua karakter yang ada yakni alusan dan gagahan.
Karakter alusan dengan langgam antara lain ; Kembang Jagung, Gondangkeli, Sulasih (Menyan Putih), Uliworo, Angger Denok, Sari Gunung, Gones, Samir, dsb.
Karakter semi gagahan antara lain Wailul (Waru Doyong), Criping Kuning, Sontoloyo, Rangu-Rangu, Kembang Jeruk, dsb.
Karakter gagahan seperti Gondosuli (tanpa iringan lengger), Gondorio, Cutang Walang, Jentik Manis ( tanpa iringan lengger), Kebo Giro, Cakar Kumbang, Wengok, dan Pitik Walik.
Ada pula karakter jenaka dalam menampilkan tarian yakni Gondori Gandrung atau orang orang menamakan Cao Glethak.
Dalam membawakan tarian kadang penari terhanyut menikmati alunan musik dan lagu yang dibawakan hingga tak sadarkan diri, tak sadar diri bukan pingsan tetapi bergerak dengan dikendalikan alam bawah sadar tapi tetap mengikuti alunan gamelan, karena sang penari begitu menghayati apa yang dibawakan, dan orang orang menyebutnya dalam kondisi kesurupan. Dalam kondisi ini kadang penari meminta tambah lanjutan langgam tari yang lain, bisa berupa karakter alusan, gagahan atau bahkan jaranan (perang jarang sluku-sluku batok, atau rete-rete) dua parikan ini sama sama menggunakan perangkat jaran kepang namun beda parikan dan model tarian. dan atau ingin meminta tarian dengan bentuk karakter hewan yakni lorang-lareng (harimau), monyet, juga ada yang meminta karakter alusan mandung-mandung yakni karakter seorang ibu yang sedang menggendong bayi.
Lagu dan parikan yang mengiringi judulnya sama dengan tarian yang dibawakan, dan konten lagu mengandung makna tersirat dalam kisah kehidupan misal berikut cuplikan parikan Gondangkeli ;
“…Menyang tlogo akeh ulane
Prahu layar ngetan parane
Gawe lego karo kancane
Kudu sabar pawitane
Mbiyen kereto sak iki bendhi
Yen pancen bendhi loro rodane
Mbiyen tresno sak iki benci
Yen pancen benci opo sebabe?
Abang putih gendero kito
Wetan kae kuburan mayit
Klambi abang nggo tondo moto
Wedak pupur nggo golek duet
Abang putih ora lunturo
Seng ijo lunture putih
Bujang manis ora nggluyuro
Seng due bojo ra tau muleh
Awang-awang si mega mendung
Trenggiling ombo sisike
Tego nyawang ora tego nundung
Kelingan kebecikane
Tak rewangi nduduk sumur
Mbok menowo metu banyune
Tak rewangi totohan umur
Mbok menowo dadi jodone
Wetan gunung kulon yo gunung
Tengah-tengah gawe lapangan
Ngetan bingung ngulon yo bingung
Sidone mung dadi sawangan”

Tantangan, Kreativitas masa pandemi
Dalam menjalankan kesenian tradisional, tentu banyak hal yang menjadi tantangan, terutama ditengah arus globalisasi dan masifnya ajaran fundamentalis. Dimana globalisasi mengkampanyekan modernisasi segala bidang, ini secara faham pemikiran akan menyingkirkan sesuatu ide atau budaya yang dianggap kuno, sehingga perlahan akan menumpulkan semangat melestarikan suatu budaya yang telah ada dan menjadi kearifan lokal, bukan berarti akan menolak secara utuh, tetapi secara prinsip ke-modernan yang difahami dalam bentuk lain dan tanpa meninggalkan estetika dan etika yang telah terbangun.
Tantangan fundamentalisme, bahwa terdapat sekelompok masyarakat yang berfaham mudah mengharamkan, menganggap syirik bahkan mengkafirkan kelompok yang tidak seirama dengan keyakinannya. Ini tantangan bahwa faham agama yang sempit menjadi seseorang berkaca mata kuda, tidak terbuka atas pemikiran arif yang lain.
Saya berpendapat bahwa tarian lengger dan bisa dibahas dengan bagus, dan dikaji bagaimana filosofi terbentuknya, pesan moral yang disampaikan, serta manfaat lain yang menjadi manusia yang halus perasaan, yakni salah satu melalui seni.
Sudah lebih dari setahun ini pagebluk pandemi covid 19 menyerang kehidupan normal manusia, tentunya ini menjadi pelajaran besar bagi kita semua. Wabah telah berimbas di semua sektor kehidupan, juga terhadap dunia seni, lengger Wonosobo termasuk salah satunya. Sehingga masyarakat dipaksa untuk menerapkan konsep hidup normal baru (new normal). Setelah satu tahun semua panggung dipaksa libur, dan semua seniman dipaksa berhenti, tentu ini secara tidak langsung telah perlahan membunuh kreativitas seni jika tetap dibiarkan. Dengan berbagai upaya telah dilakukan untuk menekan penyebaran virus. Saat ini masyarakat yang penting adalah contoh dan edukasi yang benar ( benar dalam penyampaian, benar dalam kebijakan, dan benar dalam tindakan). Jika ini telah dilakukan saya yakin masyarakat akan taat.
Saat ini masyarakat perlu mengembangkan kreativitas untuk keberlangsungan hidup. Dari pada melarang dengan cara membubarkan paksa sebuah pertunjukan alangkah baiknya kalau pihak yang berwenang memberikan edukasi yang baik, sehingga masyarakat respek dan simpati dan akhirnya akan timbul kesadaran seperti apa yang menjadi ketentuan untuk menekan penularan, tanpa harus membubarkan paksa, ajak diskusi kelompok kesenian untuk menyusun bagaimana pentas dengan konsep new normal. Sehingga kreativitas tetap jalan berkembang dan kehidupan juga berjalan. Saya kira ini lebih bijak untuk semua pihak.

Apa pendapatmu tentang ini :)