TERASJATENG.COM | Tak ada orang tua yang benar-benar sanggup kehilangan anaknya. Meski kata Rumi hati manusia selalu terbuka dan dapat menerima segala, kepergian anak adalah tragedi yang akan merenggut seluruh dunia orang tuanya. Tak ada yang tersisa dari diri seorang ayah yang kehilangan anaknya, kecuali tangis dan pilu tak tertanggungkan.
Tapi apa jadinya jika orang tua diperintah untuk mengakhiri hidup anak kandungnya sendiri. Ibrahim AS, sebagaimana kita tahu, harus menerima misi berat itu, Tuhan memerintahkannya untuk menyembelih buah hati tercinta, Ismail AS. Manusia biasa tentu tak akan sanggup menerima tugas itu. Tapi Ibrahim lain, dia bukan manusia dengan kualitas rata-rata. Tauhidnya teguh, tak goyah oleh apapun.
Pagi itu Dia sudah menajamkan golok. Dan Ismail, alih-alih takut, konon justru turut menguatkan ayahanda. Sampai detik terakhir Iblis masih bersiasat menumbuhkan ragu. Kegilaan macam apa yang mendorong seorang ayah tega menggorok leher anaknya, kira-kira begitu Iblis menggoda. Tapi Ibrahim yang teguh justru melemparinya dengan batu. Keyakinan hatinya tak menyisakan ruang untuk ragu, tak sedikitpun.
Kita tahu bagaimana kisah selanjutnya. Plot twist, begitu kata milenial penikmat seri korea. Tuhan mengganti tubuh Ismail dengan domba. Keteguhan Ibrahim membuatnya dikenang sebagai bapak tauhid, konsepsi aqidah yang menjadi jangkar iman seorang muslim. Dan peristiwa itu kemudian dirayakan sebagai Idul Qurban, satu diantara dua hari raya bagi ummat islam.
Selama ribuan purnama Idul Qurban terus dirayakan. Selain anjuran berhaji, setiap muslim yang mampu dianjurkan untuk meneladani jejak Ibrahim dengan menyembelih hewan ternak (yang telah ditentukan syariat) sebagai wujud tegaknya iman seorang hamba. Karena iman, sebagaimana ungkap sebuah riwayat, bukanlah sekedar angan apalagi hiasan bibir, ia adalah keyakinan hati yang mewujud dalam buah amalan. Dalam hal ini, iman mewujud dalam kesediaan diri untuk berkurban dan berbagi dengan mereka yang membutuhkan.
Monumen Kemanusiaan
Idul Qurban adalah monumen kemanusiaan. Ia merekam kemenangan manusia atas nafsu dan muslihat iblis. Kata Rumi nafsu adalah induk dari segala berhala, biang segala laku dosa. Trajektori menyembelih nafsu adalah ikhtiar sepanjang hayat manusia untuk menjadi manusia. Hanya dengan menyembelih nafsu terbit kesadaran manusia sebagai hamba di hadapan Tuhannya. Dengan begitu manusia terbebas dari penghambaan terhadap dunia. Dengan begitu pula luruh segala arogansi karena semua manusia setara. Lahirlah empati, tumbuh kesediaan berbagi, dan mekarlah peri kemanusiaan.
Tak kalah penting, plot twist penggantian tubuh Ismail dengan domba membuka mata kesadaran kita bahwa manusia tak boleh mengorbankan hidup manusia lain, atas nama apapun. Tuhan tak rela darah manusia tumpah. Nyawa manusia adalah anugerah yang tak bisa ditukar oleh apapun.
Hari ini kita merayakan Idul Qurban dengan batin yang lebam dihajar kepedihan. Pandemi membuat kita nyaris terkapar tak berdaya di sudut rumah-rumah dengan gawai yang terus diberondong berita duka. Satu per satu nama yang kita kenal tumbang. Rumah sakit penuh sesak, tenaga medis kewalahan, korban terus berjatuhan.
Ditengah kepedihan ini, semesta medsos justru dibuat geram oleh cuitan dari seorang akademisi yang belakangan lebih dikenal sebagai pendengung militan pemerintah, Ade Armando. Cuitan yang terasa nir-empati itu mengesankan kematian seolah tak bermakna. Tak lebih hanya sekadar angka. Seolah ratusan ribu kematian itu hanya kejadian biasa, tak berarti apa-apa.
Padahal kematian tak pernah datang sendirian. Ia selalu diiringi dengan kepedihan dan tangis mereka yang ditinggalkan. Lihatlah dibalik angka-angka tersebut ada perjuangan manusia melawan pedihnya sakit dengan sisa tarikan nafas terakhir, ada cerita yang harus usai, ada mimpi yang harus terhenti, ada ratapan yang sulit mereda, ada kepedihan batin dari anak yang kehilangan orang tuanya, istri kehilangan suaminya, adik kehilangan kakaknya, kecemasan menghadapi masa depan antah berantah karena tulang punggung keluarga kini telah tiada, ada perasaan pilu keluarga yang tak lagi utuh.
Dalam situasi kehilangan yang teramat menyayat itu kalimat demikian sungguh menyakitkan. Rasanya sulit dinalar kalimat semacam itu bisa keluar dari kepala orang terdidik. Karena terang ilmu mestinya mencerahkan akal fikir dan budinya, menyuburkan benih kemanusiaan dan keadaban.
Kalimat sejenis itu hanya bisa muncul dari orang yang berjarak, tak menempatkan diri sebagai bagian dari mereka yang kehilangan. Sebagai manusia berkeadaban kita dididik untuk merespon peristiwa kehilangan dengan memyampaikan ucapan “turut berduka”, “turut berbelasungkawa”, diiringi dengan doa-doa terbaik dan kalimat yang menguatkan. Dalam kalimat tersebut eksplisit perasaan kita turut merasakan apa yang dirasakan keluarga, ada pesan bahwa mereka tak sendiri menghadapi kehilangan yang tak mudah tersebut. Kehilangan membuat manusia rapuh, karena itu kita hadir saling menguatkan.
Menghidupkan Empati
Sebagai manusia yang mengikatkan diri sebagai satu bangsa, setiap warga negara adalah saudara. Kematian satu warga negara adalah kehilangan bersama. Duka yang dirasakan keluarganya adalah duka juga untuk kita. Adagium “satu kematian adalah tragedi, ribuan kematian hanyalah statistik” tak boleh berlaku di negeri Pancasila ini.
Di tengah keterbelahan bangsa yang belum juga menunjukkan gejala mereda, ujaran nir-empati dan tuna-kemanusiaan hanya akan memperparah keadaan. Sementara kita tahu sejatinya situasi pandemi ini menuntut solidaritas dan gerak bersama. Sesuatu yang hanya bisa terwujud dengan menumbuhkan empati dan sensibilitas. Perasaan senasib sepenanggungan, begitu para founding person bangsa menyebutnya. Tak terlalu sulit sejatinya, asal kita bisa menyembelih segala bentuk ego parsial dan menghidupi benih kemanusiaan, persatuan adalah hal yang niscaya.
Ahmad Fanani – Peneliti Analytica Syndicate
Apa pendapatmu tentang ini :)