Oleh: Aris Septiono, SH, MH, LL.M | Advokat, Praktisi Hukum di Semarang
TERASJATENG.COM – Kasus OTT KPK melibatkan anggota komisioner KPU, “WS” dan 3 orang lainnya, yaitu “HM” (mantan Caleg DPR RI dari PDIP), “SAE” (staff Sekjend PDIP) dan ATF (mantan anggota Bawaslu).
“Kong kalikong” untuk melakukan Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR RI, berujung pada ditetapkannya mereka berempat sebagai tersangka oleh KPK.
Kasus tersebut tentu sangat menciderai dan dapat merusak kepercayaan publik terhadap lembaga penyelenggara Pemilu. Suatu tantangan bagi KPK untuk dapat mengungkap kasus ini secara profesional dan transparan kepada siapapun juga yang terlibat.
Adanya konspirasi jahat antara oknum anggota KPU dan mantan anggota Bawaslu yang notabene mereka adalah dari lembaga penyelenggara Pemilu, dengan Caleg dan staff petinggi partai, telah membuka mata publik bahwa tindakan korupsi “suap menyuap” dengan pejabat penyelenggara Pemilu, bukan hanya sekedar isu atau rumor di tengah masyarakat.
Bisa jadi, praktek demikian tidak hanya terjadi saat ini, tapi bisa juga terjadi pada waktu sebelum-sebelumnya. Kasus ini bisa menjadi pintu masuk bagi KPK untuk mengembangkan kasus korupsi lainnya ditubuh KPU. Apalagi jika melihat harta kekayaan “WS” yang cukup fantastis untuk seorang anggota KPU dan malang melintang di KPUD sejak tahun 2003, melebihi harta kekayaan Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin maupun pejabat negara lainnya.
Sudah banyak contoh kasus korupsi yang ditangani oleh KPK, bisa berkembang ke kasus korupsi lainnya yang dilakukan oleh tersangka. Apabila “WS” mau memberikan keterangan yang jujur dan kooperatif, tentu dapat membongkar kasus apa saja yang telah dia “mainkan” dan siapa saja yang terlibat didalamnya. Termasuk ada atau tidaknya keterlibatan anggota KPU lainnya, mengingat sifat kolektif kolegial KPU dalam mengambil keputusan.
Kasus PAW anggota DPR RI mengingatkan pada kasus Penggantian Caleg Terpilih dari Gerindra, dimana KPU sudah menetapkan Caleg Terpilih pada sidang pleno KPU tanggal 31 Agustus 2019, namun tiba-tiba diganti dengan Caleg lainnya sesuai permintaan Partai (Gerindra).
Kasus tersebut menjadi janggal dan tidak adil karena menetapkan Caleg Terpilih sesuai keinginan Partai, bukan berdasar perolehan suara terbanyak. Kenapa yang kasus Penggantian Caleg Terpilih Dapil Sumsel I dari PDIP ditolak oleh KPU, sementara yang dari Partai Gerindra diloloskan KPU, ini tanda tanya besar “ada apa”?
Statemen Ketua KPU tanggal 9 Januari 2020 yang menyatakan penetapan anggota DPRI dari PDIP dapil Sumsel I yaitu Riezky Aprilia menggantikan Nazaruddin Kiemas yang meninggal dunia, berdasarkan perolehan suara terbanyak. Bertolak belakang dengan kasus Partai Gerindra, KPU justru menetapkan Caleg Terpilih sesuai keinginan Partai, sedangkan Caleg yang memperoleh suara terbanyak dicoret (tidak dilantik). Ada apa dibalik itu?
Kami berharap kepada KPK untuk dapat mengungkapnya termasuk memeriksa semua komisioner KPU apakah pernah “memainkan” kewenangannya dalam pesta demokrasi kemarin? Hal ini juga untuk menjawab sekaligus mengembalikan kepercayaan publik terhadap kredibilitas KPU beserta hasil Pemilu yang jujur dan bersih dari praktek “kong kalikong”.
Apa pendapatmu tentang ini :)