Terasjateng.com | Semarang — Media sosial telah menjadi salah satu alat yang sangat berpengaruh dalam membentuk opini publik dan mendorong respons cepat dari berbagai institusi, termasuk penegak hukum. Media sosial sering kali digunakan oleh masyarakat untuk menyuarakan ketidakadilan atau melaporkan kasus-kasus yang tidak tertangani dengan baik. Banyak kasus yang sebelumnya “tidak terlihat” oleh aparat menjadi perhatian serius setelah viral, misalnya video atau unggahan korban atau saksi.
Netizen yang aktif mengkritik dan menyuarakan ketidakadilan telah menciptakan gelombang opini yang mendorong aparat hukum bertindak. Fenomena ini menunjukkan kekuatan digital dalam mengawasi, bahkan “mengawal” proses hukum.
Tercatatat beberapa kasus hukum yang diproses setelah viral. Misalnya pertama, kasus Reynhard Sinaga (2020) terkait pelecehan seksual yang menjadi perhatian publik setelah ramai diberitakan, termasuk di media internasional. Pemerintah Indonesia merespons dengan mengkaji hukum terkait perlindungan korban kekerasan seksual. Kedua, kasus Ferdy Sambo (2022) terkait pembunuhan Brigadir J juga mendapat perhatian besar dari publik setelah informasi dan dugaan rekayasa kasusnya viral di media sosial. Tekanan publik melalui tagar di Twitter mempercepat pengungkapan fakta dan mendorong proses hukum yang lebih transparan. Ketiga, kasus Mario Dandy dan David Ozora (2023): Penganiayaan oleh anak pejabat menjadi viral setelah video kekerasan beredar. Netizen mengecam lambannya tindakan aparat, yang kemudian mendorong kasus ini diproses dengan cepat hingga pelaku dijatuhi hukuman berat. Keempat, kasus ASN di Lampung (2023) terkait kritik terhadap pembangunan di Lampung viral setelah diungkap oleh seorang mahasiswa. Pemerintah setempat kemudian mempercepat evaluasi pembangunan daerah tersebut. Dan beberapa kasus lainnya.
Baru-baru ini juga kembali terulang kasus viral. Kasus Penganiayaan karyawan toko roti oleh anak pemilik. Seorang karyawan bernama Dwi Ayu Darmawati mengalami penganiayaan oleh George Sugama Halim, anak pemilik toko roti di Jakarta Timur. Kasus ini menjadi sorotan publik setelah video penganiayaan tersebut viral di media sosial. Polisi kemudian menangkap pelaku di Sukabumi, Jawa Barat, dan ia dijerat dengan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara.
Dengan fenomena ‘viral’ ini, masyarakat menjadi elemen penting dalam mendorong tegaknya keadilan. Peran media sosial yang masif menandakan bahwa penegakan hukum kini tidak hanya menjadi urusan aparat, tetapi juga melibatkan pengawasan publik.
Sementara itu, disayangkan kinerja aparat penegak hukum baru bertindak setelah suatu kasus viral di media sosial atau istilah muncul “No Viral No Justice” di kalangan masyarakat. Istilah ini mengkritisi kecenderungan penegakan hukum yang lambat atau tidak responsif kecuali setelah mendapat sorotan publik yang luas.
Penegak hukum diharapkan bersikap proaktif dalam menangani kasus, bukan hanya bertindak setelah suatu kasus viral di media sosial. Sistem hukum yang responsif idealnya bekerja berdasarkan laporan masyarakat, bukan tekanan opini publik. Hal ini penting untuk memastikan keadilan dapat ditegakkan secara merata dan tepat waktu, serta meningkatkan kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum.
Masyarakat berharap penegak hukum menjadi garda terdepan dalam menjaga keadilan, baik secara profesional, transparan, maupun humanis. Dengan memenuhi harapan ini, institusi hukum tidak hanya berfungsi sebagai pengadil, tetapi juga menjadi pilar utama kepercayaan publik dalam membangun masyarakat yang adil dan bermartabat.
Muhammad Sabbardi – WaSek Lembaga Hikmah Kebijakan Publik (LHKP Muhammadiyah Jateng)
Apa pendapatmu tentang ini :)