ORANG BAIK
Orang baik itu dinilai dari akhir. Orang tidak bisa menghakimi seseorang saat ia masih hidup. Kita tidak pernah tahu jalan hidup seseorang. Pepatah mengatakan, ” lebih baik jadi mantan preman dari pada mantan ustadz.” Saat menulis ini saya jadi ingat siir Gus Dur. “Akeh wong apal Qur’an hadise, seneng ngafirke marang liyane, kafire dewe gak digatekne yen iseh peteng ati akale.” ( banyak orang yang hafal Qur’an dan hadis, tetapi suka mengkafirkan orang lain. Kafirnya sendiri tidak diperhatikan kalau masih gelap hati dan pikirannya).
Saat mendengar kabar Vanessa dan suaminya meninggal di kecelakaan tol Pasuruan saya merasa kaget. Ia sudah jauh dari hingar bingar masa lalunya. Seleb satu ini setelah berkeluarga lebih berubah. Ia sudah fokus ke keluarganya. Banyak karib dan teman memberi pengakuan ia ingin membangun keluarga menjadi lebih baik lagi.
Kenangan orang mati itu kebaikannya. Setelah kabar duka itu tiba, berdatangan komentar dan unggahan status dari kawan baik pasangan seleb itu. Semua mendoakan, ikut berdoa. Mereka menyaksikan pasangan artis itu orang baik. Semua memberi respek kepada kedua artis itu.
Saya tertarik mengikuti bagaimana Mas Sandiaga Uno pun memberi kesaksian almarhum Bibli sebagai orang yang humble dan baik.
Kematian dua sejoli itu tragis sekaligus manis. Mereka pasangan lahir batin.
Di Indonesia orang baik, orang buruk, orang sangat buruk tidak bisa langsung ketahuan. Iklim politik kita yang sikut menyikut, saling baku hantam membuat orang baik jadi buruk. Orang buruk bisa dipoles menjadi amat baik.
Dalam hidup yang indah ini, Cak Nun pernah berujar yang indah dalam hidup adalah prosesnya. Mau menjadi orang baik atau tidak baik adalah proses. Tidak ada orang fitrahnya jadi maling. Tidak ada orang fitrahnya jadi koruptor. Seorang koruptor saja berproses, apalagi kita orang biasa yang sudah tentu masih labil dan tidak menentu.
Saya jadi ingat Gus Baha saat ia berkisah tentang seorang pelacur bisa masuk surga karena memberi minum seekor anjing. Tuhan itu menghargai proses. Ini dicontohkan juga oleh Nabi Muhammad Saw. Ia sendiri pun pernah bersabda ” Tidak ada orang masuk surga itu kecuali atas keridhoaan Allah. Bahkan saya sendiri.”
Kita sering tidak sadar bahwa merasa soleh itu hal yang gak benar. Gus Baha sendiri mengatakan “lebih baik merasa tidak soleh sehingga orang banyak istighfar. Bila kita merasa soleh, maka kita akan lupa dan sombong memandang ibadah atau amalan orang lain, dan merasa sok suci.”
Kebiasaan kita menilai, menghakimi orang terlampau dini membuat kita menjadi orang yang ceroboh dan gegabah.
Pengaruh teknologi bisa demikian kencang. Akibat sms atau salah paham terhadap pesan wa saja orang bisa berubah cepat menilai orang, bahkan bisa saling hantam.
Menilai orang terlalu dini menjadi bahaya untuk kita semua. Orang baik tidak selalu dinilai dari penampilan. Orang baik menikmati ritme dan proses hidup ini. Mereka lebih condong pada ke dalam mengoreksi dirinya sendiri.
Itulah mengapa setiap hari kita diminta berdoa. Agar hidup kita dan hati kita ditetapkan jadi orang baik terus.
Pelajaran tentang pentingnya berhati-hati dan tidak menghakimi orang pun ada di Quran yang indah. Waktu itu nabi sedang berdiskusi dengan petinggi Quraisy. Ia berdiskusi cukup lama sehingga mengabaikan pertanyaan dari Si Buta yang hendak menanyakan tentang agama.
Tuhan pun marah dan mengingatkan nabi melalui Surat Abasa. Ini menandakan betapa kita dilarang menghukum dan menghakimi orang saat belum tiba masanya atau belum mati.
Misteri
Manusia itu misterius. Itulah mengapa sebelum mati, ia tidak bisa dihakimi sebagai orang baik atau jahat. Salah satu kemuliaan Islam adalah betapa agama ini amat menghargai proses. Kita bisa menengok saat Umar Bin Khatab sebelum masuk Islam. Ia dikenal sebagai pembunuh paling kejam. Ia sangat ditakuti oleh orang-orang. Ia pun membunuh putrinya sendiri. Islam pun membawanya berubah. Ia berproses menjadi manusia paling ditakuti dan membela nabi. Semua berubah, kehidupannya penuh makna dan menjadi ikon dalam sejarah kekhalifahan. Umar pun dijamin masuk surga.
Orang terjebak dalam dunia gelap tidak selalu datang dari kesadaran pribadinya. Terkadang dunia yang ada di luar kehendaknya yang membuat seseorang harus tersungkur di dalam dunia yang gelap. Semua itu tergantung pada keberanian seseorang untuk bangkit dan berproses menjadi manusia kembali.
Emha Ainun Najib pernah mengatakan dalam bukunya Allah Tidak Cerewet Seperti Hambanya (2019) “Sekarang ini bukan zamannya mengurus agama orang lain. Agama itu ‘urusan dapur’, bukan urusan “depan rumah”. Agama itu hanya digunakan untuk mengompori matangnya akhlak Anda, agar kelakuan Anda baik, bagus.”
Menjadi orang baik di era sekarang memang berbeda. Orang lebih suka casing (tampilan luar) ketimbang dalam atau isinya. Bila hati kita baik, maka sudah tentu tercermin dalam tiap langkah dan perilaku kita. Orang lain akan merasakan dampak dari kebaikan kita. Tetapi era sekarang tidak, seolah kebaikan perlu dikabarkan, diumumkan.
Saya jadi teringat peribahasa, “harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama”. Setiap kita akan dikenang karena perbuatan kita.
*Penulis adalah pendiri School Manajement Solo dan Pengajar di MBS Prambanan
Apa pendapatmu tentang ini :)