Terasjateng.com — Suatu pagi, saya melihat adegan yang puitik. Seorang ayah sedang memarkir kendaraannya di depan sekolah. Ia menurunkan anaknya dengan hati-hati. Ia pegangi tubuhnya agar tidak jatuh, sembari melepaskan mantel yang menutupi tubuh anaknya. Ia pakaikan sepatunya, sembari ia cium sang anak. Mungkin sang Ayah tidak lupa merapal doa dan harapan untuk anaknya.
Saya selalu terngiang dengan peristiwa kecil tadi. Sekolah akan terasa indah bila dipenuhi dengan adegan-adegan puitik serupa. Pandangan kita tentang sekolah seringkali kaku, administratif, birokratis, dan rumit.
Dalam sistem perekrutan seorang guru saja, sekolah memiliki aturan-aturan yang kaku, tidak ada kompromi, dan seragam. Apa yang dibentuk sekolah adalah keseragaman. Padahal, dalam kenyataan sehari-hari, manusia itu sangat beragam, kompleks. Sekolah secara tidak sadar telah membuat anak-anak didik mereka berjajar dan berbaris rapi untuk menerima pengetahuan. Seperti kita saat berjajar mengisi bensin, seperti itulah gambaran sekolah. Semua terlihat rapi, terstruktur, dan tidak ada masalah.
Penyadaran dan kesadaran yang dibentuk atau didewakan di sekolah melupakan hakikat manusia itu memiliki ragam karakteristik, model, tipe, dan juga prosesnya masing-masing untuk menempuh kesadaran. Pendidikan tidak bertugas untuk membuat manusia menjadi satu model, tetapi beragam model.
Pendidikan adalah proses penyadaran terus-menerus, dialogis dan juga hadap masalah kata Paulo Freire. Ia tidak terbatas waktu, ia tidak diberi ruang dan juga sekat yang membuat orang menjadi terkungkung. Selama ini, sekolah justru merubahnya. Alih-alih mendaku sebagai lembaga paling tidak ada masalah ia justru menampakkan cacat dan bopeng di sana-sini. Kurikulum yang tidak konsisten, guru yang harus seragam pemikirannya, dan juga yayasan atau pengelola sekolah yang selalu dianggap sebagai manusia super.
Sekolah sangat disayangkan masih menjadi tempat tumbuh suburnya budaya bisu. Budaya bisu inilah yang menurut Freire benar-benar merusak dan membuat misi penyadaran semakin sirna.
Budaya bisu semakin mematikan kritisisme. Anak didik maupun guru, dibuat tidak berdaya oleh sistem ini. Mereka dipaksa untuk menerima begitu saja apa yang berjalan dalam sistem sekolah. Dalam kultur yang demikian, tentu amat susah mewujudkan pendidikan yang dicita-citakan.
Ki Hajar Dewantara (1967) mengatakan pendidikan adalah daya upaya memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek) dan jasmani anak-anak, selaras dengan alam dan masyarakatnya.
Sekolah dalam pandangan Ki Hajar adalah sekolah yang memerdekakan jiwa anak. Dalam kultur sekolah merdeka, mustahil ada budaya bisu. Kritisisme dalam sekolah menurut Ki hajar bukan hanya wajib, tetapi Ki Hajar menekankan among, yang menjadi kontrol dan menggerakkan murid agar tidak bebas-sebebas bebasnya. Itulah mengapa budi pekerti dan kebudayaan menjadi dasar dalam pendidikan Taman Siswa.
Siklus Sistemik
Sekolah secara tidak sadar telah melanggengkan budaya bisu. Saya jadi ingat puisi Taufik Ismail yang saya rasa amat cocok dengan keadaan di sekolah. “mahasiswa takut dosen, dosen takut rektor, rektor takut menteri, menteri takut presiden. Presiden takut pada mahasiswa takut 66 takut 98.”
Ketakutan dalam “sekolah” telah mematikan nalar kritis para pegiat pendidikan dari guru, murid hingga kepala sekolah. Mereka terjebak pada satu sistem yang tidak nampak, tetapi membelenggu dan juga menjerat. Kreatifitas dalam dunia sekolah menjadi jalan di tempat. Sebab sistem yang ada di sekolah seakan tidak keluar dari lingkup kebijakan yang ada dalam kontrol pusat (kekuasaan).
Sekolah secara tidak sadar ikut serta melanggengkan kelas-kelas dan sekat-sekat yang membedakan manusia satu dengan manusia lain. Pelabelan anak pintar, anak bodoh, anak “kurang”, anak nakal adalah sebagian kecil dari contoh pelanggegan sistem kelas di dalam sekolah. Sekolah juga semakin tidak bisa dilepaskan dari persepsi : “Untuk mendapatkan sekolah terbaik, maka harus siap merogoh kocek”. Ini menandakan bahwa siklus sistemik sekolah telah turut serta membentuk kelas dalam masyarakat. Seberapapun usaha sekolah untuk membuat pola keanekaragaman siswa (manusia), ia terpaku pada sistem yang dibuatnya sendiri, sehingga terjebak pada pelanggengan kelas sosial yang ada dalam masyarakat.”
Formula
Kritik yang diajukan oleh para pakar pendidikan terhadap sistem “sekolah” menandakan bahwa sekolah bukan satu-satunya lembaga yang bisa diandalkan. Banyak lahir lembaga pendidikan yang keluar dari sistem ala “sekolah.”
Para pakar pendidikan telah banyak memberikan masukan, mengkritik sistem dan juga mengusulkan strategi untuk memperbaiki sekolah. Sekolah yang terbaik dalam satu masyarakat adalah bagian dari berbagai formula yang disesuaikan, disusun ulang dan ditata sedemikian rupa agar bangunan “sekolah” menjadi semakin sempurna.
Howard Gardner misalnya memberi satu paradigma baru yang merubah sistem kelas yang semula selektif antara yang pintar, kurang pintar harus diubah dengan karakter dan kecerdasan anak yang beragam.
Sekolah berbasis kecerdasan jamak memang sudah cukup banyak di Indonesa, akan tetapi secara praktik di masyarakat, sekolah berbasis kecerdasan jamak masih menerapkan konsep kurikulum yang mengikuti pemerintah. Fenomena ini menjadi semakin miris saat konsep sekolah berbasis kecerdasan jamak, tetap mendewakan angka-angka sebagai standar peniaian yang diberikan kepada peserta didik.
Annie Brock dan Heather Hundley (2020) menulis buku The Growth Minset Playbook yang memberi formula terhadap apa yang selama ini mapan di sekolah-sekolah. Ia menulis sekolah mestinya “menciptakan lingkungan belajar yang berorientasi pada kemajuan bisa memberdayakan para siswa untuk menyelesaikan tugas-tugas yang menantang bangkit kembali setelah gagal, dan menyadari potensi mereka untuk berhasil di semua lingkup pendidikan.”
Mindset “tumbuh” yang diusulkan Annie dan Heather Hundley terasa mustahil diwujudkan saat pemangku kebijakan di sekolah belum bergeser dari mindset tetap. Sekolah belum bergeser dari mentalitas yang pro kemapanan.
Meski disuntik dengan berbagai formula, sekolah tetap saja masih menjadi satu lembaga yang secara tidak sadar melanggengkan sistem yang nirmanusia. Sekolah memang nampak puitik saat kita melihat dari luar tetapi semakin kita memasuki lorong-lorongnya, sekolah masih memiliki cacat serta mengidap penyakit kronis yang harus disembuhkan segera.
Penulis adalah Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo
Apa pendapatmu tentang ini :)