TERASJATENG.COM | Sektor pertanian disebut – sebut sebagai tulang pungung pertumbuhan ekonomi Indonesia, karena sektor pertanian ini lah yang tidak terpengaruh dengan bencana global covid 19, bahkan menurut BPS sector pertanian cenderung mengalami peningkatan baik dari pertumbuhannya ataupun penyerapan tenaga kerjanya. Secara umum memang sektor pertanian selalu menempati top 3 penyumbang terbesar PDB Indonesia. Pertanyaanya sekarang adalah apakah sector pertanian (komoditi dan pelakunya) menjadi bagian prioritas utama dalam pembangunan bangsa?, dalam momen HUT Kemerdekan RI yang ke 77 ini perlu juga kita renungkan apakah petani Indonesia sudah “Medeka”?
Perkembangan Pertanian
kita tentu sangat familiar sekali dengan julukan Indonesia sebagai negara agraris, karena memang sector pertanian banyak menyerap tenaga kerja serta salahsatu penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tapi apakah kini “julukan” itu masih relevan dengan kondisi pertanian saat ini?. Menurut data bank dunia pada tahun 1991 proporsi pekerja di bidang pertanian mencapai 53,51%, pada tahun 1995 mengalami penurunan menjadi 43,98 dan terus mengalai penurun menjadi 39,13 di tahun 2010, kondisi ini terus berlanjut sampai dengan tahun 2019 yang turun menjadi 28,9%. Dengan demikia kontribusi sector pertanian dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia juga mengalami penurunan.
Sumbangan sektor pertanian menurun dari 30% pada tahun 1975 menjadi sekitar 23% pada tahun 1985 dan terus menurun menjadi 15,3% pada tahun 2010 dan menjadi 13,1% pada tahun 2017 (BPS 2018). Sebaliknya, sumbangan sektor industri meningkat dari 33,5% pada tahun 1975 menjadi 35% pada tahun 1985, dan terus meningkat menjadi 41,8% pada tahun 1995. Dengan kondisi seperti ini tidak heran kalau BAPPENAS memprediksi tahun 2063 pertanian Indonesia akan punah dan pemenuhan kebutuhan pokok akan diperoleh dengan cara impor. Data jumlah pekerja menurut bank dunia tersebut menunjukan hasil yang relative sama dengan hasil Sensus Pertanian yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS). Jumlah rumah tangga yang melakukan usaha pertanian cenderung menurun. Pada 2003 tercatat ada 31,2 juta rumah tangga, lalu turun menjadi 26,1 juta pada 2013. Pada 2018 memang ada peningkatan jumlah rumah tangga petani sebesar 6,1% menjadi 27,7 juta dibandingkan pada 2013.
Kalau dilihat dari proporsi umur makin sedikit kelompok usia muda yang menjadi petani. Pada tahun 2013 kelompok umur kurang dari 25 tahun dari 1,16 juta turun menjadi 885 ribu di tahun 2018. Kelompok umur 25-34 tahun dari jumlah 4,5 juta ditahun 2013 menjadi 4,1 juta di tahun 2018, kelompuk umur 45-54 tahun dari jumlah 8 juta ditahun 2013 naik menjadi 9,1 juta ditahun 2018. Dan pada kelompok umur lebih dari 55 tahun jumlahnya mencapai 9,8 juta ditahun 2013 menjadi 11,1 juta pada tahun 2018. Dari data diatas kita dapat menyimpulkan bahwa pekerjaan di sector petani didominasi orang tua dan cenderung kurang diminati pada kelompok usia muda. Hal ini juga menunjukan bahwa kurangnya atau extrimnya tidak ada regenerasi petani di Indonesia. Menurut BPS per februari tahun 2022 upah di sector pertanian tidak lebih dari 2 juta rupiah dan upah tertinggi di sector komunikasi dan informasi mencapi 4,8juta rupiah. Karena upah yang rendaj inilah salahsatu sebab kenapa generasi muda enggan berkarir di sector pertanian.
Selain upah yang rendah, jumlah lahan pertanian yang terus menurun juga menjadi penyebab berkurangnya pekerja disektor pertanian. Misalnya, pada lahan baku sawah di tahun 2010 seluas 8 juta hektar menurun menjadi, 7,7 juta hektar pada tahun 2017 dan terus menurun di tahun 2019 menyisakan luas 7,4 hektar. Upaya pemerintah dalam mengendalikan luas lahan sudah dilakukan dengan menerbitkan peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah untuk memperketat alih fungsi lahan dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) telah mengeluarkan Keputusan Nomor 686/SK-PG.03.03/XII/2019 tentang Penetapan Luas Lahan Baku Sawah Nasional Tahun 2019. Tetapi nampaknya penyusutan lahan pertanian terus berkurang sampai dengan sekarang.
Kondisi Petani
Pada konverensi virtual pada tahun 2021 anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika menyampaikan jika dalam setahun ada tiga kali musim panen, maka pendapatan yang diterima petani padi setiap satu hektare sawah per bulannya hanya sekitar Rp 1,25 juta. Namun pendapatan riil mereka hanya berkisar Rp 800 ribu per bulan, karena rata-rata petani padi memiliki lahan 0,6 hektar. Lalu bagaimana mungkin petani di Indonesia dapat hidup makmur padahal hidup jauh dari kecukupan. Selain itu, semakin hari harga kebutuhan pokok di pasaran semakin naik, ditambah lagi para petani juga tidak hanya memenuhi kebutuhan dirinya saja melainkan kebutuhan seluruh keluarganya.
Berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2021, lapangan kerja yang menyerap tenaga kerja paling banyak adalah sektor pertanian, kehutanan, dan Perikanan, yaitu sebesar 29,59%. Angka tersebut meningkat dibandingkan tahun dibandingkan Februari 2020 yakni 29,23%. Namun begitu peningkatan ini belum dibarengi dengan kesejahteraan para petani. berdasarkan data BPS tahun 2020 menurut sumber penghasilan utama, jumlah rumah tangga tergolong miskin di Indonesia sebagian besar berasal dari sektor pertanian yaitu 46,30%. Hal ini merupakan sebuah ironi, disatu sisi menjadi penyumbang pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi bahkan menjadi paku bumi pada hempasan badai bencana covid 19 selama 2 tahun lalu tetapi pelakunya (petani) sampai saat ini jauh dari kata sejahtera.
Kembali pada pertanyaan awal diatas, di momentum kemerdekaan RI ke 77 ini apakah petani di Indonesia sudah merdeka?, tentu harapannya pemerintah secara sigap dan terukur membuat kebijakan untuk “memerdekakan” petani Indonesia. Dirgahayu Indonesia, sejahtera Petani Indonesia. Merdeka
Ali Khamdi – Staff Pengajar S1 Agribisnis Universitas Muhammadiyah Semarang
Apa pendapatmu tentang ini :)