TERASJATENG.COM | BANYUMAS – Generasi muda harus mampu berfikir partikular dan universal dalam memahami Bhinneka Tunggal Ika. Hal tersebut disampaikan Ketua Umum Pusat Kajian Ideologi Pancasila (PKIP), Ashoka Siahaan dalam forum dialog ‘Pelestarian Bhinneka Tunggal Ika’, yang digelar PKIP bersama Direktorat Bina Ideologi, Karakter dan Wawasan Kebangsaan, Ditjen Polpum, Kemendagri RI, di Purwokerto, Banyumas beberapa waktu lalu.
Dalam forum yang dihadiri perwakilan berbagai elemen dari aktivis mahasiswa, kelompok budaya, tokoh masyarakat, pegiat lingkungan, serta Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) Kesbangpol Banyumas tersebut, Ashoka menyebut kebanyakan masyarakat Indonesia terjebak pada hal-hal partikular. Yakni, keberagaman suku, agama, ras, bahasa daerah yang tidak jarang terjadi pertikaian dan perpecahan, tanpa mengingat pentingnya nilai universalnya yaitu kesatuan berbangsa dan bernegara.
Menurutnya, budaya politik kebangsaan ini akan berjalan dengan baik dalam relasinya bersama kebhinnekaan apabila didasari pada etika politik yang rasional yaitu semangat Nasionalisme.
Sebagai kumpulan dari ribuan berbagai suku, budaya maupun agama harus dapat bersama-sama secara rasional menjalankan sila-sila Pancasila dalam praktek dan uji coba secara damai dan beradab.
Melalui rilis, Ashoka menambahkan melalui relasi budaya Pancasila akan terbentuk Relasi budaya politik Pancasila dan relasi ini haruslah memiliki etika yang ia sebut sebagai tepa selira.
Selain etika relasi budaya politik Pancasila, perihal demokrasi juga banyak disinggung sebagai sistem bernegara. Ia menekankan Demokrasi Pancasila ialah sistem yang saat ini paling cocok ketimbang fasisme maupun liberal.
Kebhinnekaan itu memang bisa dimobilisasi dengan cara fasistik menjadi keekaan yang represif, atau sebaliknya menjadi liberalistik yang membebaskan menjadi federalistik. Keduanya tidak membangun etika politik yang saling menghargai dan pembauran maupun toleransi, tegas Ashoka.
Ashoka berpesan agar tetap harus berpijak pada kritis dan rasional, apalagi kreatif sebagai dasar dari kecerdasan menganalisis atas pluralitas dan toleransi.
Kita mengerti ideologi kebangsaan bukan hanya dalam artian rumusan slogan, tapi juga bersifat terbuka dan bukan ditelusuri secara dogmatis. Termasuk untuk menjalankan dan menelusuri demokrasi Pancasila yang menitik beratkan pada kebhinneka tunggal ikaan untuk merawat kesatuan bangsa yang menjadi dasar untuk pembauran dan toleransi serta untuk mencegah prinsip diktator mayoritas yang fasistis maupun tirani minoritas yang liberalistik.
Purwokerto dipilih sebagai kota untuk pelaksanaan program pembauran karena dianggap dapat menjadi contoh untuk pembauran bagi tingkat nasional.
Purwokerto yang dikenal “adem” bukan berarti tidak akan ada potensi untuk terjadi perpecahan, oleh karenanya pencapaian yang sudah berlangsung perlu dirawat dan secara terus-menerus membentuk kader yang menyuarakan kebhinnekaan, tegas Johny Sebayang sebagai perwakilan Direktorat Polpum, Kemendagri RI dalam sambutannya.
Dalam forum dialog ini dipopulerkan Salam Pancasila sebagai pekikan pembuka acara sebagaimana telah PKIP lakukan dalam berbagai kegiatan sebelumnya sejak 2014. Pembacaan teks Pancasila juga didengungkan ditengah banyaknya kegiatan bertajuk kebangsaan yang tidak memasukannya dalam salah satu runtutan acara.
Sementara itu, Guru Besar Unsoed Purwokerto, Prof. Wardhana Suryapratama, menjelaskan tentang bagaimana karakter pemuda Indonesia dalam merawat kebhinnekaan. Salah satu tantangan generasi sekarang adalah ketidakmampuan berfikir analisis.
Wardhana mengungkapkan ada 10 tanda zaman yang harus dapat diantisipasi dengan jiwa dan karakter kritis seorang pemuda salah satunya ialah meningkatnya perilaku merusak diri dengan berbagai cara seperti penggunaan narkoba, alkohol serta semakin menurunnya etos kerja disaat banyak digalakkan program untuk pemberdayaan ekonomi kreatif bagi para pemuda.
Johny Sebayang sebagai narasumber memaparkan metode dan tantangan pembauran di Indonesia. Ia menjelaskan bahwa bangsa ini sedang menghadapi tantangan besar dalam bidang pemberantasan korupsi, narkoba, dan terorisme.
Menurutnya, korupsi dan narkoba telah menjangkiti masyarakat Indonesia sampai pada level terkecil birokrasi dalam masyarakat yakni tingkat desa/kelurahan bahkan ditingkat RT.
Sementara terorisme adalah dampak atau akibat yang timbul dari kesenjangan sosial dan pemahaman yang keliru tentang kebangsaan dan beragama. Ia memberikan contoh-contoh konkrit kasus yang dihadapi oleh Kemendagri terkait kondisi riil dilapangan saat terjadi kasus-kasus pertikaian antar agama dan suku yang sebenarnya dipicu oleh perorangan namun memakai simbol-simbol agama.
Peserta yang hadir sangat antusias karena merasa sesuai dengan gelora dan semangat pemuda yang haus akan nilai kebangsaan dan keinginan hidup damai dalam kebhinnekaan.
Kepala Kesbangpol Kabupaten Banyumas menyampaikan berkenaan dengan Forum Pembauran Kebangsaan di daerah yang memiliki peranan yang sangat penting dan strategis dalam membina persatuan dan kesatuan bangsa dari tingkat lokal sampai tingkat nasional.
(rls/A8)
Apa pendapatmu tentang ini :)