Oleh : Muhammad Sabbardi
Manusia pada esensinya memiliki semangat untuk belajar alias ingin menggali informasi dan ilmu pengetahuan sebagai bekal menjalani kehidupan. Kini, kecenderungan alamiah tersebut telah berubah menjadi keniscayaan, lebih-lebih menyusul kehadiran perangkat teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Proses pembelajaran pun dapat dilakukan lebih mudah, selain cepat. Lantaran kemampuan instrument canggih dalam memenuhi hasrat ingin tahu tersebut pembelajaran dapat dilakukan secara individual.
Belajar secara mandiri inilah yang disebut heutagogy. Heutagogy adalah sebuah pendekatan pengajaran dan pembelajaran yang memberi akses kepada sumber pembelajaran dan membolehkan pelajar memperoleh pengetahuan dan kemahiran secara mandiri. Pendekatan ini rasanya layak untuk dikembangkan di dunia pendidikan kita. Pendekatan belajar mandiri (self-determined learning ) ini sebenarnya sudah ditawarkan sejak lebih dari satu dekade silam. Pendekatan ini menawarkan kebebasan kepada siswa untuk menetukan (determine) sendiri dalam belajar.
Belajar di era digital
Semua tahu, kemudahan akses informasi ini terbukti telah dimanfaatkan sebagian besar orang dewasa, bahkan anak-anak dan generasi muda masa kini, sebut saja ‘generasi zaman now’, i-Generation, generasi net, dan sebutan lainnya seperti generasi milenial atau generasi Z untuk menyebut mereka yang lahir setelah 1988. Di sisi lain, generasi zaman now adalah produk perkembangan zaman itu sendiri.
Orang tak dapat menghindarkan diri dari kemajuan ilmu teknologi dan komunikasi karena TIK merupakan faktor yang paling rasional dari perkembangan generasi ini. Di zaman sekarang, hampir semua orang cakap memainkan alat teknologi, informasi dan komunikasi, seperti laptop, komputer, iPad, smartphone dan jenis lainnya, bahkan media sosial telah menjadi bagian dari kebutuhan mereka.
Orang boleh berpendapat bahwa informasi yang tersaji melalui internet sebatas hiburan. Tapi, sejujurnya konten yang tersaji di sana lebih banyak positifnya ketimbang sebaliknya, hal yang berguna bagi proses pendidikan. Anak dapat belajar dengan cara yang lebih menyenangkan dan interaktif lewat teknologi.
Lalu, bagaimana implementasinya dalam dunia pendidikaan kita hari ini? Sepertinya pembelajaran konvensional harus mengakomodasi tren di atas. Tentu, sebagai catatan, kita tidak ingin anak-anak usia sekolah saat ini lebih banyak belajar dari dunia digital yang mereka temui setiap saat dibanding mengikuti kegiatan di dalam kelas.
Sebaliknya, suasana cara belajar di dalam kelas mesti mampu menciptakan suatu proses yang penuh dengan pengalaman, memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk berkolaborasi dengan gurunya, dengan teman-temannya untuk membangun dan mengorganisasi pengetahuan, melibatkan diri dalam penelitian, belajar menulis dan menganalisis serta mampu mengkomunikasikan apa yang mereka alami sebagai suatu pemikiran baru sebagai wujud pengalaman sesuai dengan usia mereka.
Guru harus menjadi teman agar dapat memasuki dunia mereka sehingga dapat menemukan pendekatan belajar efektif. Guru di era digital perlu memahami bagaimana cara peserta didiknya belajar dan mencarikan yang terbaik di antara berbagai pilihan. Dengan kata lain, selama belum memahami bagaimana kemampuan, kebutuhan dan kekuatan masing-masing individu peserta didiknya dalam mempelajari sesuatu, guru akan mengalami kesulitan dalam menentukan metode belajar, situasi yang akan berdampak positif terhadap para siswanya.
Nah, pendekatan pembelajaran heutagogy dapat digunakan dunia pendidikan sebagai alternatif menghadapi konteks laju perubahan yang cepat. Sebab, kemudahan akses informasi secara tidak langsung memberikan tawaran baik dan kemudahan penerapan belajar. Stewart Hase & Chris Kenyon (2013) menjelaskan “… the essence of heutagogy is that in some learning situations, the focus should be on what and how the learner wants to learn, not on what is to be taught…”.
Dengan kata lain, heutagogy memberikan kesempatan kepada pembelajar untuk menentukan pilihan secara bebas selain menawarkan kolaborasi aktif (double hands), dalam menentukan kontenapa yang tepat untuk dipelajari, metodologi apa yang hendak digunakan dan bentuk penilaian apa yang akan diterapkan untuk membuktikan bahwa suatu kompetensi sudah berhasil dikuasai dengan baik oleh peserta didik. Siswa dan guru saling bertukar pikiran tentang langkah-langkah dan sumber-sumber belajar apa yang akan digunakan untuk mencapai tujuan belajar yang sudah ditentukan tersebut. Guru sini bertindak sebagai fasilitator atau konsultan pembelajaran. Heutagogy menjadi sangat menarik karena hendak mengarahkan siswa menjadi agen pembelajar aktif dan bebas. Keterlibatan pembelajar (teacher) sebagai konsultan belajar siswa.
Prinsip-prinsip pebelajaran heutagogy mengutamakan suasana nyamanpara siswa selama belajar. Para siswa harus merasakan bahwa pembelajaran sesuai dengan eksistensi diri mereka. Hal ini akan memudahkan penguasaan materi yang mereka pelajari.
Namun, yang perlu untuk digarisbawahi bahwa dalam praktiknya heutagogy lebih menekankan pada tingkat kemandirian (higher level of autonomy) dan kematangan siswa selama belajar. Menurut Blashcke (2012), tingkat kematangan pelajar (the learners maturity) memberikan pengaruh terhadap kebutuhan pendampingan belajarnya, yaitu semakin matang seseorang dalam hal kemandirian belajarnya, maka persentase kontrol pembelajar harus semakin dikurangi.
Visi masa depan siswa
Heutagogi bermanfaat banyak dalam mendongkrak kemampuan metakognitif siswa, yakni kemampuan memahami dan merumuskan visi ke depan harus mulai diajarkan sejak tingkat pendidikan awal. Semua mafhum, tidak sedikit generasi muda kita hari ini yang masih belum dapat menentukan apa dan dengan cara apa mereka hendak mencapai cita-cita mereka di masa depan. Kelemahan dalam memahami tujuan hidup ini, selain gaya belajar, dapat menghambat usaha-usaha dalam pengembangan diri, baik kepribadian, kompetensi serta kapasitas dan kapabilitas pribadi siswa.
Sebagai catatan, heutagogy hingga hari ini belum dapat diterapkan di semua bidang keilmuan, karena berpotensi menimbulkan kekacauan dalam hal penguasaan suatu keahlian tertentu. Heutagogy juga masih belum menemukan formulanya yang tepat untuk diterapkan pada jenjang pendidikan awal. Inilah mungkin menjadi tantangan dunia pendidikan untuk dapat menemukan formula pendekatan heutagogy yang tepat yang diterapkan pada semua jenjang pendidikan dan bidang kajian.
(Artikel pernah diterbitkan di Majalah Suara Guru 2018
dan disempurnakan). Tj/ms
Apa pendapatmu tentang ini :)