Terasjateng.com — Nostalgia paling perih adalah nostalgia bumi kita. Setiap tempat yang kita singgahi adalah buku kenangan yang tiada habis. Tidak ada keindahan yang bisa kita syukuri berkali-kali selain indahnya alam ini yang kita nikmati dengan percuma. Tuhan memang Maha Kasih. Ia lempar manusia ke bumi, surga keduanya. Manusialah yang merubah buminya sendiri jadi neraka.
Di Indonesia, hidup bersama alam adalah berkah sekaligus petaka. Kita diajak untuk menyaksikan kemurungan dan tangis pedih akibat ulah para korporat. Lihatlah hutan Sumatera dan Kalimantan serta hutan-hutan lainnya. Hampir setiap tahun proses pembabatan hutan menjadi masalah krusial dari waktu ke waktu.
Deforestasi berjalan rapi, tersistem dan juga belum menghukum otak dari penggundulan hutan atas nama kegagahan korporasi. Orang sering salah hitung dan salah sangka, sawit, batubara dan aneka industrialisasi lebih menguntungkan ketimbang pelestarian hutan. Berapa generasi dan nyawa yang akan diselamatkan dengan hutan dan juga semua keanekaragaman hayati yang bisa dinikmati dan dimanfaatkan anak cucu kita. Sementara kita lebih memilih membunuh hutan kita hari ini.
Kematian gajah, kematian orang hutan akibat kebakaran hutan yang dilakukan secara sistemik telah membuat aneka satwa mati tidak berdaya. Industrialisasi yang digadang memenuhi kebutuhan manusia Indonesia menjadi miris sebab harga minyak goreng ironisnya menjadi mahal di negara produsennya sendiri.
Sungguh saya tidak tahu sampai kapan keindahan alam Indonesia bisa kita nikmati bila kian hari kita disuguhi kisah yang menyayat hati. Setiap pagi saya merasakan keajaiban saat berangkat kerja. Asap udara yang belum terlalu pekat seperti Jakarta. Pemandangan sungai-sungai yang masih bersih layaknya sungai di Belanda. Mata ini terasa seperti menonton adegan pembuka dalam wayang kulit. Gunungan yang tampil dalam wayang sebagai simbol jagat ruhani maupun fisik benar-benar terlihat nyata. Ini seperti melihat flyer yang bergantian dalam layar laptop kita. Namun yang saya lihat bukan gambar, melainkan hijau daun pegunungan, kuning padi yang jernih, serta Pak Tani yang sudah ramai bekerja mencangkul dan mengurusi padi mereka.
Saat menyaksikan pemandangan itu, saya hanya merapal doa semoga pemandangan indah ini, kekal.
Pada pinggir-pinggir jalan di lereng gunung itu memang belum halus bak aspal jalanan kota. Yang menjadi pemandangan unik adalah pedagang kaki lima di kanan kiri jalan yang sudah berdenyut menggerakkan ekonomi.
Saya jadi ingat apa yang dikatakan Sri Mulyani “orang Indonesia itu pekerja keras, tapi asetnya tidur.” Investasi yang saat ini digembar-gemborkan pemerintah telah mengubah watak orang Indonesia yang hidup selaras dan menjaga alam.
Investasi yang digadang membuat rakyat makin sejahtera tidak semulus kenyataannya. Kita seperti dibuat bahagia selama 30 tahun dan menderita selama-lamanya. Gambaran ini menjadi nyata saat hutan dan pegunungan kita habis satu demi satu hanya untuk melayani resort, penginapan dan taman hiburan.
Pembangunan besar-besaran mestinya tidak membunuh keberlangsungan ekosistem dan merusak keseimbangan alam.
Saya selalu ingat pada buku mendiang Radar Panca Dahana, mahzab kita bukanlah mahzab ekonomi liberal dan kapitalis. Mahzab ekonomi kita adalah ekonomi cukup. Narimo ing pandum.
Doktrin pembangunan yang ramah lingkungan dan juga tidak merusak alam kenyataannya tidak mau secara ketat membatasi atau melarang korporasi yang berpotensi merusak tatanan ekologis.
Tantangan kebutuhan pangan, kebutuhan sandang maupun papan tidak berarti menghalalkan paradigma pembangunan liberal dan kapitalistik
Teknologi dan juga konsep pembangunan yang berbasis pada kelestarian alam menjadi mutlak diperlukan. Kita tidak ingin tanah-tanah dalam kurun waktu 10 tahun ke depan makin berganti rupa menjadi perumahan, menjadi pabrik-pabrik maupun hotel yang hanya mengeruk kekayaan dan pundi pundi uang semata.
Tantangan Tak Mudah
Tekanan korporasi serta tarik ulur kepentingan pragmatis terhadap kekayaan alam kita perlu diberikan penegasan. Regulasi kita dalam pengelolaan tambang dan pelestarian alam cenderung pro kepada kepentingan pemodal maupun korporasi.
COP 26 di Glasgow menjadi bukti bahwa kita belum sepenuhnya berkomitmen kuat terhadap pembangunan yang berkelanjutan dan berorientasi masa depan. “Perut yang lapar hari ini, memang berbahaya bila tidak segera makan. Lebih berbahaya lagi bila perut yang lapar justru membuat kita bertindak beringas dan di luar nalar.”
Apa guna kita menjadi modern, bila makin banyak kejatuhan kita dalam berbagai sisi. Apa enaknya mencecap keindahan dan menikmati keuntungan korporasi sementara hewan dan juga masa depan anak cucu kita diabaikan begitu saja.
Nostalgia paling perih adalah nostalgia bumi kita yang kian rusak parah oleh tangan bengis manusia sendiri.
*Penulis adalah Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo
Apa pendapatmu tentang ini :)