Oleh: Shobaril Yuliadi, S.Si**
Gen’s Y
Generasi Y atau yang lebih sering disebut dengan generasi milenial akhir-akhir ini menjadi perbincangan banyak kalangan. Generasi milenial juga sering dikaitkan dengan berbagai isu seperti ekonomi, sosial, budaya dan politik.
Dalam berbagai riset dan kajian teoritik, peneliti belum bersepakat dalam batasan usia generasi ini. Sebagai contoh misalnya, Tapscott mendefinisikan Generasi Milenial lahir antara tahun 1976-2000. Kemudian Howe dan Strauss mengkatagorikan kedalam tahun lahir 1982-2000. Sementara Martin dan Tulgar menganggap generasi milenial adalah mereka yang lahir antara tahun 1978-2000. Namun, secara garis besar generasi milenial adalah mereka yang lahir diantara tahun 1980 sampai 2000 atau berusia antara 18-38 tahun di 2018.
Pada tahun generasi milenial ini lahir, teknologi sudah sangat berkembang. TV sudah mulai berwarna dilengkapi remot, handphone marak bahkan tiap tahun mengalami inovasi, Perangko untuk berkirim surat mulai tak laku dan berganti dengan surat elektronik, jaringan internet yang mulai marak dan berbagai perkembangan teknologi lainya. Jadi wajar jika kemudian menilai bahwa generasi milenial ini adalah generasi yang cerdas, pintar, kreatif dan erat kaitanya dengan teknologi.
Fakta Generasi Milenial
Setelah kita tau soal generasi milenial, Lalu apa yang unik dari generasi ini sehingga menjadi perbincangan banyak kalangan dan berbagai isu? Pertama, Di Indonesia populasi generasi milenial mencapai 81 juta jiwa atau total 34,4% dari jumlah penduduk Indonesia.
Dengan jumlah yang relatif besar, tentu generasi ini menjadi harapan dan penentu masa depan bangsa kedepan. Kedua, Generasi Milenial melek teknologi dan pecandu sosial media. Survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) melansir hasil riset Agustus 2017 bahwa 81,7% generasi milenial mengakses facebook secara aktif dan 70,3% menggunakan whatsapp.
Selain itu Hasil survai lainya yang dirilis oleh Pew Research Center, juga memperlihatkan hasil yang tak jauh berbeda dimana keunikan generasi milennial dibanding generasi sebelumnya yang paling menonjol adalah penggunaan teknologi informasi, terutama dalam memperoleh hiburan.
Dengan kondisi diatas tentu generasi milenial diharapkan menjadi potensi yang luar biasa dalam mencapai kemajuan bangsa Indonesia. Disisi lain, ada beberapa hal yang kemudian perlu menjadi perhatian cukup serius. Kedekatan dengan internet tentu membuat generasi milenial ini memiliki pemikiran yang sangat terbuka. Internet menjadi media terbaik dan tercepat untuk menjadi referensi generasi ini. Kecepatan informasi yang diterima juga pada akhirnya juga menciptakan generasi milenial ini tidak cukup memiliki pendirian yang kuat (labil). Selain itu, sikap egoisme yang tinggi dan kepedulian yang rendah telah menjadi karakter sebagian besar generasi milenial ini.
Nadiem Makarim (Gojek, 34th), Hafiza Elvira (Nalacity Foundation, 22th), Raditiya Dika (Comika, 33th), Andika Pandu (Anggota DPR RI, 32th) adalah potret sukses kaum milenial. Mereka berhasil mengekplorasi potensi diri masing-masing yang sesuai dengan bidangnya. Namun, disisi yang lain generasi milenial sangat rentan terhadap social media harassment dan cybercrime yang menjadi dampak negatif dari teknologi informasi. Berita mengenai video asusila pelajar/mahasiswa, penyebaran konten fitnah atau hoax, serta kejahatan-kejahatan lainya yang berawal dari media sosial yang dilakukan oleh generasi milenial masih cukup sering kita jumpai. Hal ini menunjukan bahwa kedekatan generasi milenial dengan teknologi tersebut selain berpotensi dalam pembangunan bangsa juga sangat berpotensi merusak bangsa.
Peran Keumatan
Generasi milenial sebagai representasi kaum muda adalah kunci. Kaum milenial Indonesia harus mengambil peran besar membangun masa depan bangsanya. Setidaknya ada dua peran besar yang harus diambil generasi ini. Pertama, peran intelektual. Saat ini nyaris semua yang menempuh studi sarjana strata 1 adalah generasi milenial, ditambah lagi dengan sarjana-sarjana baru yang telah mulai merambah dunia kerja. Artinya generasi milenial saat ini berada pada puncak idealisme yang tinggi dalam ilmu pengetahuan.
Menurut Gramsci, semua manusia adalah aktor intelektual, tetapi tidak semua orang mempunyai peran intelektual. Gramsci membedakan dua jenis intelektual. Pertama, intelektual tradisional yang representasinya ada pada mereka yang secara rutin melakukan hal-hal yang sama dari generasi ke generasi. Kedua, intelektual organik, sosok personal yang kuat dalam perenungan, reflektif atas konteks historisnya dan revolusioner memperjuangkan manifest perenungannya bagi umat.
Kedua, peran politik. Berbagai riset yang ada mengenai karakter generasi milenial terhadap politik cukup memprihatinkan. Survey Litbang Kompas oktober 2017 menunjukan generasi milenial yang bersedia bergabung dipartai politik hanya 11,8 %, 1,9% belum berpendapat dan sisanya 86,3% menyatakan tidak bersedia. Meski peran politik tidak selalu dilakukan dengan cara masuk sebagai anggota parpol, namun setidaknya mengindikasikan gejala sikap apolitis generasi ini.
Sikap apolitis generasi milenial ini lebih sering muncul karena menganggap politik tak berpengaruh terhadap kehidupannya. Selain itu korupsi dan sikap gaduh yang sering dipertontonkan elit politik kita hari ini juga turut mempengaruhi keengganan kaum milenial untuk berpolitik. Sehingga perlu kiranya membangun kesadaran bersama dikalangan milenian’s ini melalui kerangka pendidikan politik. Energi kritis terhadap carut marut politik kita hari ini harusnya tersalurkan dan berdampak pada perubahan politik kearah yang lebih baik. Kampanye anti money politic melalui medsos, petisi-petisi terhadap kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat bisa menjadi alternatif gerakan politik generasi milenial dalam mencerdaskan umat.
Penulis adalah Direktur LKP Teras Jateng
Apa pendapatmu tentang ini :)