TERASJATENG.COM — Profesor Imam Robandi saat berkunjung ke sekolah-sekolah di Indonesia selalu melihat toilet terlebih dulu. Toilet adalah tempat paling belakang di sekolah-sekolah Indonesia. Toilet jarang ditempatkan di tempat paling depan. Tata letak atau desain sekolah di Jawa umumnya memang menempatkan toilet sebagai tempat yang aman disembunyikan. Selain merupakan tempat untuk membuang kotoran, toilet dianggap tidak pantas ditaruh di depan.
Jangan heran dan kaget saat mengunjungi toilet sekolah-sekolah di Indonesia. Kesan jorok, kotor dan kumuh adalah tiga kata yang sering kita dengar. Tingkat kekotoran toilet Indonesia sudah keterlaluan parah. Bila melihat toilet umum maka kita akan mengerti betul betapa tidak nyamannya kita ke toilet di negeri kita sendiri.
Dari toilet itulah Prof. Imam Robandi sering mengatakan kalau kebersihan adalah budaya yang mesti ada di seluruh dunia tidak hanya di Indonesia. Saya jadi ingat betul saat Kemenkraf Sandiaga Uno berusaha mengubah citra Bali dan citra Indonesia dengan memperbaiki dan menyempurnakan toilet.
Kebersihan memang bukanlah citra, apalagi dilakukan untuk tujuan tertentu. Kebersihan dan menjaga kebersihan adalah urusan budaya, urusan mentalitas. Mendidik mentalitas adalah hal sulit. Jepang sendiri mendidik mentalitas ini selama tujuh tahun pertama untuk membiasakan dan membudayakan hidup bersih.
Bersih adalah aset, bersih di Pyongyang misalnya, bukan sekadar aset. Bersih adalah budaya, bersih adalah diri, bersih adalah tradisi. Ia tumbuh tidak secara instan, ia tidak by design ia bukan sulap sehari jadi. Seorang turis saat datang ke Pyongyang dari Belanda amat kagum dan di setiap perjalanan ia membidikkan kameranya untuk menunjukkan betapa kagumnya mereka akan setiap sudut dan setiap tempat di Pyongyang sangat bersih.
Di Indonesia, kebersihan adalah janji politik. Dari bersih-bersih masalah korupsi sampai dengan bersih-bersih sungai. Urusan kebersihan adalah urusan sebab-akibat, urusan kebersihan di Indonesia adalah proyek, harus dengan dana dan memerlukan perencanaan yang matang dan rumit. Ada yang nampak beda saat kita melihat cara kita melihat urusan kebersihan.
Singapura adalah contoh bagus di dunia bagaimana keluar dari masalah sampah dan juga masalah tempat yang kotor. Semenjak Lee Kuan Yew menjadi perdana menteri. Semenjak 1968, Lee telah melakukan kampanye selama tiga tahun berturut-turut dengan kampanye Keep Singapore Clean. Tahun 1976, ia menggalakkan kampanye di semua tempat Use Your Hand untuk mengatasi sampah. Hasilnya tidak main-main, budaya masyarakat Singapura terbentuk. Sekolah-sekolah di sana adalah sekolah yang peduli urusan kebersihan.
Membangun mentalitas dan membangun budaya adalah urusan fundamental. Soekarno menyadari aspek ini, sehingga mentalitet adalah hal yang harus dibenahi sebelum membenahi banyak aspek lain. Sebenarnya sekolah adalah tempat persemaian yang paling massif dan potensial untuk membangkitkan semangat dan budaya baik apapun itu termasuk budaya bersih.
Kesadaran menjaga kebersihan dan mentalitas bersih adalah hal yang naluriah, fitrah. Siapa saja tentu tidak mau melihat dan tinggal di tempat yang kotor.
Pyongyang beda dengan Singapura, beda dengan Indonesia. Kesamaan semuanya adalah manusianya. Tidak ada manusia yang suka kotor, tidak ada manusia yang membenci tempat yang bersih.
Pyongyang menciptakan budaya bersih dari masyarakatnya manusianya. Kesadaran dibentuk secara jamaah, secara serempak. Tanpa aturan sekalipun orang di Pyongyang membutuhkan kebersihan. Bersih adalah kebutuhan mereka, sehingga terwujud di setiap tempat dan sudut semua kotanya.
Sudah enam puluh tahun lebih Indonesia merdeka. Bisakah kita berani seperti Pyongyang atau Singapura? Atau Malaysia?
Indonesia memang luas, tidak mudah memang. Penghargaan Adipura yang selama ini jadi ikon kota terbersih bisa menjadi titik awal. Titik awal untuk membentuk kebudayaan baru. Kebudayaan yang benar-benar kita butuhkan.
Saat ini Indonesia termasuk negara yang menggebu-gebu untuk Go International dalam urusan pendidikan. Kampus dan juga tingkat di bawahnya ingin segera mengejar menjadi rangking dunia.
Tidak ada sekolah Go International(tingkat dunia) yang tidak menerapkan budaya bersih. Ada peluang sebenarnya, jika memang budaya kebersihan ini hendak dijadikan pintu utama untuk mencapai Go International.
Semua memerlukan tekad, semua memerlukan proses, namun proses harus dimulai. Keberhasilan kita memulai budaya bersih menjadi kunci bukan hanya untuk dikenal dunia tapi membuktikan kepada dunia, bahwa masyarakat kita bisa disiplin, bisa bersama-sama mewujudkan hidup bersih, menggalakkan budaya bersih.
Bisakah sekolah-sekolah kita menciptakan budaya bersih?. Saya tidak bisa menjawab, saya hanya memiliki keyakinan optimis, ini bisa dilakukan. Kebersihan bisa dimulai dari tempat yang sederhana seperti di toilet, dari yang ringan-ringan. Kita bisa mengadopsi cara di Singapura Use Your Hand. Sulitkah?
Sangat sulit. Dari kesulitan itulah kita belajar bahwa tidak ada yang sia-sia setelah kita berusaha. Tantangannya? Sangat banyak. Sekolah-sekolah memerlukan lebih banyak kepala sekolah seperti Lee Kuan Yew untuk memulai menciptakan sesuatu yang sulit itu. Saat budaya bersih sudah terwujud, tidak perlu menunggu anak untuk mendaftar sekolah kita, tapi mereka akan berdatangan seperti semut. Bukankah hukum alam yang manis akan dicari dan diburu?.
* Penulis merupakan Direktur School Management dan Pengasuh SD MBS Yogya
Apa pendapatmu tentang ini :)