Oleh: Anies Rasyid Baswedan
(Tulisan pertama dari tiga tulisan)
Hari Kemerdekaan tahun ini tampak berbeda bagi anak-anak di Kampung Akuarium. Senyum mereka kini merekah menyaksikan Kampung Susun Akuarium yang akhirnya berdiri setelah perjuangan panjang.
Lima tahun lalu, sepulang dari sekolah, harapan akan masa depan cerah seketika sirna. Rumah orang satu kampung diratakan buldoser. Sebuah ironi, warga jadi pengungsi di kampungnya sendiri: Rumah disapu, status kependudukan dicabut. Masa depan terasa gelap.
Tahun-tahun itu jadi pengalaman berat bagi anak-anak di pesisir utara ibukota tersebut. Namun, tepat di tanggal 17 Agustus 2021, walau kenangan buruk itu tak bisa dihapus, masa depan itu bisa hidup kembali. Kampung Susun Akuarium berhasil tegak berdiri.
Di kampung itu, semua warga urun rembuk mengenai rancangan yang diinginkan sesuai pola interaksi sosial keseharian dan kegiatan ekonomi mereka. Warga tak dicerabut dari akarnya, melainkan merasa memiliki apa yang menjadi hak mereka.
Bahkan, pola kepemilikannya pun tak transaksional. Warga bukan ditempatkan sekadar sebagai penyewa, melainkan warga membentuk koperasi pemukiman. Anggotanya hanya warga penghuni.
Pemerintah mempercayakan koperasi ini untuk mengelola dan merawat kampung susun. Ya, mereka memang masih sederhana keadaan ekonominya, tapi jangan sepelekan kemampuan warga. Mereka bisa bekerja bersama dan mengelola kampung susunnya secara kolektif.
Kolaborasi kolektif dalam Kampung Susun Akuarium adalah bukti bahwa membangun kampung kota bukan sekadar mendirikan bangunan, melainkan menghadirkan ruang hidup yang memanusiakan warganya.
Cerita Kampung Susun Akuarium hanyalah satu dari 21 kampung yang ditata dengan pendekatan lebih humanis. Kita menyebutnya dengan Community Action Plan (CAP). Kata kuncinya: Community!
Memanusiakan Warga
Pendekatan pembangunan top down yang hanya menjadikan warga sekadar sebagai objek tak lagi relevan. Ini era kolaborasi dan warga adalah subjek yang berperan aktif dalam pembangunan, bukan jadi objek yang ditinggalkan deru kemajuan.
Community Action Plan adalah ikhtiar bersama mewujudkan pendekatan kolaboratif dan memanusiakan warga dalam pembangunan kampung kota.
Kampung lain seperti Kampung Tanah Merah yang sebelumnya terisolir kini mendapat akses melalui pembangunan infrastruktur seperti jembatan, transportasi umum, dan penyediaan air bersih.
Bahkan rumah yang sudah berdiri puluhan tahun tapi tak ber-IMB (Izin Mendirikan Bangunan) karena status legal atas tanah belum tuntas kini diberi solusi yaitu IMB kolektif. Satu buah IMB untuk semua bangunan dalam satu Rukun Tetangga (RT). Bukan IMB per rumah tapi per komunitas. Sebuah terobosan yang baru pertama kali dilakukan di Republik ini.
Dengan adanya IMB kolektif itu, mereka kini bisa terima aliran listrik, aliran air dan pelayanan dasar lainnya. Status tanah yang belum tuntas tak perlu membuat warga kehilangan hak dasarnya seperti air dan listrik.
Solusi semacam itu muncul setelah diskusi panjang dengan warga dan semua pemegang kepentingan. Sebagai pengemban amanah, kita berikhtiar terus mewadahi dan memberi ruang aspirasi untuk bersama mencari solusi. Pendekatan birokratis yang cenderung otoritatif dan menutup alternatif solusi dalam memecahkan beragam masalah warga tak lagi kita gunakan.
Yang terbaru: Pembangunan Kampung Susun Produktif Tumbuh Cakung untuk warga Bukit Duri. Pendekatan komunitas bersama warga lokal dan arsitek pendamping berupaya menghadirkan kampung susun yang beranjak dari kebutuhan dan aktivitas warga.
Keliru jika memandang kampung kota seperti Kampung Akuarium, Tanah Merah, Bukit Duri, dan banyak kampung kota lainnya hanya sebagai kumpulan rumah. Kampung-kampung kota adalah cermin paling nyata dari persatuan. Kampungnya satu, isinya seribu satu unsur manusia. Itulah kampung kita.
Pembangunan kampung kota pun jangan dimaknai semata sebagai pembangunan deretan bangunan mati, tapi dipandang sebagai satu kesatuan bangunan sosial yang hidup. Itulah kampung. Itulah alas budaya kebersamaan bangsa kita. Kampung-kampung kota tersebut berupaya kita ayomi, alih-alih dihakimi. Hilangkan masalahnya bukan meniadakan kampungnya.
Pendekatannya pun berbeda untuk masing-masing daerah, tak pakai satu solusi untuk semua. Tiap daerah punya karakter dan masalah hidup yang berbeda-beda. Keunikan itu harus diberdayakan, bukan malah disingkirkan dan distandarkan.
Alih-alih merasa paling tahu dan otoritatif, Pemprov DKI berupaya menghadirkan ruang kolaborasi antar komunitas. Warga, fasilitator, pakar, dan pemerintah bekerja sama (ko-kreasi) menemukan solusi bersama untuk setiap kampung kota.
Kemajuan Yang Berkeadilan
Masih terngiang ucapan Sandyawan Sumardi, pegiat komunitas di Bukit Duri, saat Pemprov DKI bersama komunitas warga akan membangun Kampung Susun Produktif Tumbuh Cakung. Ia mengatakan, “Punya rumah hunian sendiri adalah awal kisah hidup perjuangan kami.”
Bagi warga, rumah bukan sekadar bangunan fisik. Rumah adalah ruang hidup, sebuah harapan akan masa depan yang lebih baik di ibukota.
Sayangnya, ketika membicarakan kemajuan, ada persepsi yang menormalisasi jika ada warga yang menjadi korban derap kemajuan. Persepsi ini secara implisit mengatakan bahwa penyingkiran dianggap normal asal yang jadi korban adalah orang lain, bukan diri sendiri. Kita ubah paradigma yang tak memanusiakan seperti itu.
Kemajuan harus memanusiakan. Memberikan kesetaraan dan kesempatan yang sama bagi semua warganya. Tanpa itu semua, solidaritas dan persatuan warga akan mustahil terwujud.
Jakarta adalah kota harapan, ruang yang mewadahi ragam mimpi dan harapan dari seluruh penjuru Republik ini. Sebutkan suku dan agama dari seluruh penjuru negeri, semua ada di Jakarta.
Jakarta sebagai rumah untuk semua, inilah gagasan yang terus kita wujudkan dengan karya dan kebijakan. Rumah yang terasa hangat bagi seluruh warganya. Rumah yang menghadirkan interaksi yang menyatukan dan mengayomi, alih-alih memisahkan dan mengasingkan.
Rumah yang menyatukan, karena hadirnya kesetaraan dan keadilan sosial bagi seluruh warganya!
Apa pendapatmu tentang ini :)