TERASJATENG.COM | Melalui Surat Keputusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Persatuan Indonesia (Perindo) No 1800/SK DPP Perindo/VIII/2022 tentang Pengangkatan Ketua Harian Nasional Partai Perindo, muncul nama TGB Zainul Majdi sebagai kandidat terpilih.
Pemilihan TGB sebagai Ketua Harian Nasional Perindo menjadi berita politik terhangat minggu ini. Hary Tanoesoedibjo atau lebih akrab disebut Hary Tanoe dengan yakin memilih TGB karena dua alasan; cerdas dan berpengalaman.
Dalam pidatonya Hary Tanoe banyak menyinggung prestasi TGB di kancah politik Indonesia, mulai dari Anggota DPR RI hingga Gubernur NTB selama dua periode. Pencapaian itu semua menjadi daya dukung TGB untuk dapat diterima secara mutlak di Perindo.
Fenomena ini bukan hanya menyedot perhatian publik, tetapi juga menjadi perbincangan hangat kaum intelektual tentang kaitannya dengan pemilihan presiden dua tahun mendatang. TGB dengan segudang prestasinya tentu saja menjadi magnet, ia adalah politisi yang dikenal luas publik sebagai cendekiawan sekaligus ulama, dua status sosial yang prestisius di tengah masyarakat Indonesia yang masih lebih sering ‘memuja’ tokoh daripada partai.
Saya pribadi membaca kepindahan TGB ini bukan sekedar lompatan politik praktis yang dilakukan politisi pada umumnya, melainkan Perindo ingin memainkan peran kuda hitam di pemilihan presiden mendatang dengan TGB sebagai sentralnya.
Hasrat Menggaet Perhatian Pemilih Muslim
Jika kita membaca kembali sejarah politik di Indonesia selama tiga puluh tahun terakhir, dapat diketahui bahwa keterlibatan ulama atau cendekiawan muslim sangat menentukan arah dan dinamika politik yang sedang berkembang.
Dimulai dari peran Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang menjadi salah satu corong publik, khususnya dari suara mayoritas muslim dalam mendorong terjadinya reformasi di segala bidang. Meskipun awalnya ICMI sempat ditentang oleh penguasa, karena dianggap mewakili kelompok ekstrem kanan, faktanya Orde Baru tidak dapat membendung laju dukungan kepada organisasi tersebut.
ICMI telah berhasil mendorong perubahan di tubuh pemerintahan politik Indonesia, dengan diangkatnya BJ Habibie sebagai pejabat presiden menggantikan Soeharto pada 1998. Keberhasilan itu secara signifikan berdampak pada derasnya keterlibatan kaum muslim Indonesia dalam perpolitikan, entah sebagai partisipan maupun partisan.
Dukungan pemilih muslim terhadap tokoh politik maupun partai sangat menentukan tingkat kepercayaan diri kontestan di kancah pemilihan. Pemilih muslim sebagai mayoritas selalu mendapat tempat penting dalam ajang kampanye, doktrin politik yang harus selaras dengan agama menjadikan pemilih muslim sulit memperhatikan kandidat bukan Islam, dan mereka memiliki kecenderungan militan dalam menyukseskan sebuah kontestasi.
Hal ini terbukti pada pemilihan presiden tahun 2014 dan 2019, kabar miring yang menyerang Prabowo Subianto terkait agama, menjadikan mayoritas pemilih muslim berbalik mendukung Jokowi. Label anak seorang Nasrani membuat dukungan dari pemilih muslim terhadap Prabowo kurang mengakar di arus bawah.
Artinya mayoritas pemilih muslim akan selalu mencari kanal yang dianggap mampu mewadahi kepentingan mereka, melalui tokoh muslim dengan rekam jejak yang baik, mereka lebih banyak mempercayakan masa depan Indonesia. Untuk itu, di Indonesia ini sebuah partai tidak akan pernah bisa mengabaikan mayoritas pemilih muslim, partai dengan label agama selain Islam, tentu saja akan sulit mendapatkan suara, meskipun di negara demokrasi, sentimen semacam ini masih terus timbul dalam setiap kontestasi politik.
Melihat sepak terjang TGB yang begitu mentereng, baik sebagai politisi maupun cendekiawan yang dekat dengan ICMI, membuat langkah Perindo ini bisa dibilang sebagai satu manuver politik yang cerdik.
TGB adalah magnet bagi dua kalangan sekaligus; pemilih muslim dan milenial, atau menjadi pusat perhatian dari satu generasi produktif yang saat ini mendominasi partisipasi politik di tanah air.
Di samping itu, publik Indonesia juga sudah mengetahui prestasi TGB selama menjadi Gubernur NTB, pencapaian yang telah ditorehkan membuat TGB berhasil ditetapkan sebagai salah satu gubernur terbaik versi Kementerian Dalam Negeri pada 2017 yang lalu.
Modal sosial semacam ini tentu saja dapat menjadi senjata ampuh bagi Perindo untuk memenuhi hasrat politiknya; menjadi partai yang memiliki basis pemilih muslim yang loyal dari berbagai daerah di Indonesia, khususnya dari luar Pulau Jawa. Ini menjadi permulaan Perindo menjajaki kontestasi di pilpres dua tahun mendatang.
Pentingnya Menormalkan Citra Partai
Melihat sepak terjang Perindo beberapa tahun ke belakang, dapat disinyalir, partai ini sedang membangkitkan basis massa dari kalangan muslim. Selama ini Perindo menghadapi dua persoalan mendasar terkait dengan citra partai; pertama, dianggap sebagai partai yang tidak memprioritaskan pemilih muslim dan kedua, sebagai partai yang didominasi kalangan Tionghoa.
Dua label yang melekat pada citra Perindo ini tentu saja dibangun oleh suasana politik yang terjadi di Indonesia dan sangat tidak menguntungkan bagi partai, label yang pertama dan kedua sebenarnya saling berkaitan, dan figur sentral dalam partai menjadi faktor penyebab yang dominan. Tetapi, belakangan ini melihat sepak terjang dan gerakan Perindo, nampaknya label itu sudah harus dikesampingkan.
Perindo menjadi partai yang memperlihatkan bahwa citra partai politik itu bisa berubah dan politik Indonesia sangatlah dinamis. Perindo sekarang sangat gencar mendekati tokoh muslim dari berbagai wilayah di Indonesia untuk menormalisasi citra partai. Gerakan ini penting apabila sebuah partai politik ingin naik ke kancah yang lebih tinggi dalam kontestasi politik.
Bagaimanapun juga mayoritas pemilih muslim merupakan kunci bagi kemenangan kontestan politik yang bermain di kancah nasional. Citra yang selama ini melekat pada Perindo memang menunjukan keadaan ‘tidak normal’ bagi sebuah partai yang hidup di alam politik Indonesia.
Reformasi memberikan ruang gerak yang sedikit lebih bebas bagi setiap partai politik untuk merubah citra diri dan arah gerakannya, hal ini akan sulit dibayangkan terjadi di masa Orde Baru (1966-1998) maupun di zaman awal kemerdekaan (1945-1965), ketika ‘warna politik’ dan ideologi partai menjadi segalanya, dan bersifat kaku, sulit dirubah.
Meskipun demikian, normalisasi citra partai yang sedang dilakukan oleh Perindo ini perlu didukung dengan program-program yang tetap bermuatan universal. Pemilih milenial sekarang, khususnya dari kalangan terdidik sudah mulai memperhatikan program yang berpihak dan menguntungkan bagi mereka. Untuk itu, hendaknya normalisasi tersebut tetap memperhatikan semangat kebangsaan yang selama ini sudah mulai redup dibicarakan oleh partai-partai di Indonesia.
Normalisasi citra partai di negara demokrasi sebenarnya menjadi fenomena yang lazim, sudah semestinya partai politik bersifat dinamis, sebagai salah satu instrumen demokrasi, partai perlu menampung segala aspirasi dari setiap anggotanya, menjadi realitas yang tidak bisa dihindari ketika politik Indonesia perlu diwarnai partai-partai yang adaptif, mengingat corak politik belakangan begitu dinamis dan sulit ditebak arah geraknya. Sehingga, mengamankan suara dan menggaet pemilih militan dari kelompok mayoritas merupakan salah satu kunci keberhasilan partai di masa sekarang.
Partai Perlu Punya ‘Daya Pikat’
Sepanjang sejarah politik Indonesia, membuktikan bahwa partai-partai yang gagal beradaptasi dan tidak mampu memperhatikan kondisi pemilih mayoritas akan ditinggalkan, sehingga lama-lama ia akan menjadi partai tanpa basis massa yang militan, kemudian mati perlahan.
Kegagalan partai beradaptasi disebabkan oleh orientasi partai politik yang hanya fokus kepada elit, tanpa menunjukan keberpihakan kepada massa pemilih. Perindo yang sedang gencar menggaet pemilih muslim milenial tentu saja sedang mencoba formulasi baru di kancah politik Indonesia, yaitu memberi tempat bagi tokoh muslim berpengaruh dan mencoba memprioritaskan daerah luar Pulau Jawa. Apakah ini akan efektif? Tentu saja jawabannya sulit diputuskan sekarang.
Setidaknya terobosan ini menjadi anti-mainstream manakala partai yang lain masih cenderung berfokus di Pulau Jawa, dengan dalil klasik ‘Jawa adalah kunci’ yang sebenarnya jika melihat dinamika yang sedang berlangsung, dalil itu sudah tidak relevan lagi.
Saat ini perhatian banyak orang justru tidak lagi di Jawa, tetapi di luar Jawa terdapat harapan besar untuk perubahan Indonesia menjadi bangsa yang lebih maju. Mayoritas pemilih muslim yang sekarang didominasi oleh milenial ini juga sudah memahami dinamika itu, bahwa tidak selamanya Jawa menjadi fokus pembangunan. Sehingga, kontestasi mendatang diproyeksikan sebagai suatu kancah di mana kandidat terbaik adalah ia yang mampu merumuskan strategi pembangunan dan pemerataan di seluruh wilayah Indonesia, dan ini bukan sekedar jargon politik semata.
Di situlah daya pikat partai yang bisa dimainkan oleh Perindo yang sedang gencar membangkitkan pemilih muslim milenial melalui berbagai gerakan. Keberpihakan mereka pada kelompok mayoritas dengan terus mendorong terjadinya perubahan dan pembaruan di berbagai bidang menjadi daya pikat selanjutnya yang perlu diterjemahkan ke dalam program-program strategis.
Jika formula merumuskan ‘daya pikat’ ini berhasil dilakukan, maka bukan menjadi mustahil jika partai ini melalui gerakan barunya akan mendobrak tradisi lama yang selama ini dianut oleh sebagian besar partai politik di Indonesia yang dianggap kurang cepat beradaptasi dan selalu gagal menangkap gairah zaman, dan bukan tidak mungkin partai ini akan mampu memainkan peran kuda hitam di kontestasi politik mendatang. Seperti apa pembuktiannya? Jawabannya kita peroleh dua tahun lagi.
*Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Sosial UNNES
Apa pendapatmu tentang ini :)