Semua orang tentu paham, tantangan debat berbahasa Inggris hanyalah sebuah kelakar kecil dari Tim Pemenangan Prabowo-Sandi. Untuk politisi level nasional seperti mereka, tentu saja aturan mengenai penggunaan bahasa Indonesia dalam acara resmi pemerintahan sudah ‘ngelothok’ di kepala. Tapi kenapa kelakar seperti itu perlu dimunculkan oleh Tim Pemenangan Prabowo-Sandi?
‘KELAKAR’ secara leksikal dapat dimaknai sebagai sebuah sikap ‘senda gurau’. Dalam konteks ilmu komunikasi, dapat dipahami sebagai sebuah teknik komunikasi yang memasukkan senda gurau dalam penyampaiannya. Tapi kelakar dalam ilmu kebahasaan—ilmu pragmatik tepatnya dapat dipahami sebagai cara penyampaian pesan tersirat dengan bersenda gurau supaya situasi wicara terasa lebih segar dan santai.
Selain membawa dampak lebih segar dan santai, berkomunikasi dengan cara berkelakar akan membentuk suasana lebih rileks pada mitra tutur sehingga mekanisme defensif (kewaspadaan) terhadap potensi bahaya sebuah informasi menjadi lemah. Karena dapat melemahkan mekanisme defensif lawan, maka kelakar banyak dijadikan teknik bicara level tinggi yang elegan dan berkelas. Bahkan, dalam sebuah proses komunikasi yang sukses, kelakar menjadi bagian yang wajib ada dalam racikan formulanya.
Terlepas dari itu semua, munculnya kelakar dari Kubu Prabowo-Sandi dari sisi pragmatik semestinya dapat dipahami sebagai cara cerdas kubu tersebut untuk memunculkan kelemahan calon lawan secara halus dan tak terlihat. Dengan memanfaatkan kelakar debat berbahasa Inggris, sebenarnya kubu tersebut sedang mengirimkan pesan ke masyarakat: Ini lho calon presidenmu yang tidak pandai berbahasa Inggris itu.
Naasnya, Kubu Jokowi-Amin justru terpancing dan merespon secara serampangan dan tak terkonsep. Ada yang merespon dengan menantang balik debat berbahasa Arab. Adapula yang merespon dengan menolak keras karena debat yang dipentingkan adalah esensinya, bukanlah bahasanya. Selama beberapa hari terakhir, laman-laman media massa penuh dengan komentar debat berbahasa Inggris.
Mereka terlihat sangat terburu-buru untuk merespon sebuah kelakar yang pasti akan ditolak karena bertentangan dengan undang-undang.
Efek Framing
Usaha untuk mencounter sebuah isu yang berpotensi melemahkan calon andalan mungkin sesuatu yang wajar dilakukan oleh tim pemenangan. Tapi sesuatu yang alpa dipahami oleh kubu Jokowi-Amin adalah efek framing yang muncul dari gempitanya respon mereka di media massa. Mereka sepertinya kehilangan sistem kewaspadaan, sehingga meghamburkan banyak peluru dan mem-bledos-kan setumpuk bom untuk sesuatu yang remeh.
Bahkan, karena begitu “bernafsu”nya mereka dalam men-counter kelakar, kubu Jokowi-Amin lupa untuk menghitung berapa tinggi intensitas berita tersebut muncul dalam pemberitaan. Mereka agak lepas kendali, sehingga lupa untuk memahami, bahwa dalam sebuah pemberitaan, ketika sebuah informasi terlihat lebih menonjol dibandingkan informasi lainnya, tanpa disadari informasi tersebut akan membentuk sebuah framing.
Celakanya, framing yang muncul dari tantangan debat berbahasa Inggris ini justru kurang menguntungkan Jokowi-Amin. Efek yang muncul bukanlah terbentuknya kesan bodoh kubu pengusul debat berbahasa Inggris karena masyarakat tahu itu hanya sebuah kelakar. Efek yang muncul justru semakin mengemukanya kelemahan Jokowi-Amin dalam penguasaan bahasa Inggris; bahasa yang sangat penting dalam percaturan internasional.
Kondisi seperti ini tentu perlu disikapi Kubu Jokowi-Amin secepat mungkin. Selain segera mengevaluasi cara-cara mereka merespon sebuah isu, mereka juga perlu untuk memperkuat tim pemenangan dengan melibatkan orang-orang dari bidang bahasa. Orang-orang bahasa inilah yang nantinya akan menolong mereka dalam memahami sesuatu di balik teks (behind the text) dan sesuatu yang melampaui teks (beyond the text). Dua hal yang perlu dikuasai untuk memenangkan “perang” berbasis bahasa.
Penulis: Zainal Arifin (Dosen Universitas PGRI Semarang)
(A5)
Apa pendapatmu tentang ini :)