TERASJATENG.COM – Kurun waktu beberapa minggu ini, media nasional banyak memberitakan tentang vonis yang dijatuhkan baik kepada masyarakat yang dianggap melanggar protokol kesehatan, pejabat yang melakukan korupsi, bahkan terdapat penegak hukum yang ikut terlibat didalamnya. pemberitaan tersebut cukup merisaukan khususnya dalam dunia hukum di Indonesia. Masyarakat yang melanggar Protokol Kesehatan seperti tidak memakai masker dinyatakan bersalah dan harus membayar uang denda. Tidak sedikit masyarakat yang memilih untuk dihukum penjara karena tidak mampu untuk membayar.
Di sisi yang lain, yang tidak kalah menghebohkan adalah vonis terhadap Djoko Tjandra dan Pinangki yang merupakan seorang penegak hukum. Djoko Tjhandra dan Pinangki yang melakukan upaya Hukum Banding mendapat keringan dengan dipangkasnya hukuman pidana penjara.
Vonis terhadap Terdakwa kasus korupsi Djoko Tjandra dan Jaksa Pinangki menimbulkan tanda tanya yang cukup besar, jika suatu putusan hanya berdasarkan pada aturan semata, maka bukan hal yang sulit untuk mencari kelemahan dari pasal-pasal itu sendiri. Akan tetapi, jika dilihat dari kaca mata moral dan keadilan, maka pengurangan masa tahanan seakan menunjukan hukum masih tajam kebawah, tapi tumpul ke atas. Dipangkasnya hukuman Djoko Tjhandra dan Pinangki dirasa sangat menciderai rasa keadilan dan menurunkan marwah hukum itu sendiri. Bagaimana tidak, penegak hukum yang seharusnya berada digaris terdepan dalam menegakkan hukum justru ikut terlibat dan berperan dalam memainkan hukum. Hukum seakan tidak lagi sesuai dengan tujuannya sebagaimana disampaikan oleh Gustav Radbruch yakni Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian Hukum.
Dalam irah-irah suatu putusan akan selalu ada kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kalimat tersebut seharusnya dijadikan pedoman bagi seluruh penegak hukum. Kalimat keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sepertinya masih dianggap hanya sebatas formalitas semata, kalimat tersebut belum dapat sepenuhnya diaplikasikan. Bismar Siregar mantan Hakim Agung pernah berkata, “Rumusan irah-irah itu adalah suatu rumusan sumpah”. Begitulah pandangan yang disampaikan Bismar dalam salah satu ceramahnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Sumpah sebagaimana dimaksud Bismar Siregar seakan menunjukan bahwa hakim adalah wakil Tuhan yang harus menegakkan keadilan sebagaimana tuntunan Tuhan. inilah yang menjadi pembeda peradilan di Indonesia dengan negara lain.
Keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa bukan hanya keadilan berdasarkan aturan undang-undang semata, apalagi hukum digunakan untuk permainan dan bisnis. Apa yang dilakukan oleh Pinangki yang merupakan seorang penegak hukum tapi malah menjadi aktor dalam memainkan hukum itu sendiri. Pinangki mencoba menerabas aturan hukum yang berlaku demi kepentintgan pribadinya, hal tersebut senada dengan yang disampaikan oleh Prof Koentjaningrat. Sejak akhir tahun 1960-an Prof Koentjaningrat mencoba memotret “perilaku bangsa Indonesia perilaku yang suka menerabas” (Koentjaningrat, Rintangan-rintangan Mental dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia, 1969). Akan tetapi, mentalitas yang suka menerabas tersebut hanya digunakan untuk kepentingan pribadi, bukan untuk mewujudkan keadilan.
Apa yang dilakukan oleh Pinangki sebagai aparat penegak hukum yang mencoba memainkan hukum itu sendiri bukanlah yang pertama, sudah saatnya terjadinya perbaikan baik ditingkat Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan maupun dari Advokat. Perbaikan tersebut haruslah mendapat dukungan dari masyarakat. Hukum tidak boleh lagi dibawah pengaruh dan tekanan Politik dan Ekonomi. Hukum harus menjadi panglima tertinggi dalam mewujudkan keadilan.
Menegakkan hukum bukan hanya sekedar menegakkan Undang-undang, menegakkan hukum tidak hanya sekedar melakukan penuntutan di Persidangan. Menegakkan hukum sejatinya adalah tegaknya keadilan dan kebenaran yang hakiki. Prof Satjipto Rahardjo dalam salah satu tulisannya mengatakan “Mungkin kata-kata menegakkan hukum sudah cukup untuk mengatasi semuanya, tetapi dalam situasi yang lain, seperti yang sekarang terjadi di Indonesia dan juga negara lain, itu dapat tidak cukup. Indonesia memerlukan pendefinisian kembali secara tegas bahwa negeri ini tidak hanya berdasarkan hukum, melainkan juga berdasarkan moral.
Mengamati dan merenungkan proses-proses hukum sebagaimana disebukan di atas, rasanya tidak berlebihan mengatakan bahwa budaya hukum yang berlandaskan Pancasila mulai memudar dan ditinggalkan. Nilai-nilai moral seakan tidak lagi menjadi pedoman, hukum sengat erat dengan permainan dan bisnis. Oleh sebab itu, Menjelang hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang ke-76, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah yang cukup besar dalam membangun moral bangsa sebagaimana dicita-citakan. Pancasila yang menjadi ideologi bangsa ini diharapkan tidak hanya sekedar menjadi hafalan atau diucapkan pada lisan semata, akan tetapi memaknai isi dan kandungannya. khususnya bagi para penegak hukum.
Adiansyah Nurahman, S.H., M.H.
(Advokat, Anggota Bidang Hukum Pemuda Muhammadiyah Kota Semarang)
Editor – Imam
Apa pendapatmu tentang ini :)