Oleh : Abdul Wahab Jh*
Pencoblosan sebagai salah satu tahapan Pemilihan Gubernur Jawa Tengah telah usai, selanjutnya rakyat menunggu hasil akhir hajatan lima tahunan itu yang kini sedang dihitung oleh penyelenggara pemilukada.
Disela – sela waktu penantian itu, kita disuguhi informasi hasil quick count berbagai lembaga survey, dimana Ganjar Pranowo – Taj Yasin sebagai petahana mengungguli lawan tunggalnya Sudirman Said – Ida Fauziyah dengan selisih suara yang variatif antara satu pelaku quick count dengan lainnya.
Hasil perhitungan quick count pemilukada telah berhasil memupuk keyakinan banyak orang bahwa petahana adalah pemenangnya, dan hampir semua orang berkomentar bahwa tidak perlu menunggu hasil akhir penghitungan real count untuk mengekspresikan kemenangan itu dalam derajat yang tidak sebatas uforia, sudah pasti menang berdasarkan pertimbangan selisih suara hasil quick count yang mencapai angka 12 %. Keyakinan tersebut tidak lebih sebagai pengaruh teori yang terbangun selama ini, bahwa selisih 12 persen suara hasil quick count adalah angka aman untuk mengklaim sebuah kemenangan kontestasi pemilihan politik.
Hasil quick count pemilukada Jawa Tengah menyuguhkan hasil yang tidak sesuai ekspektasi lembaga survey dan petahan selama masa kampanye, tingkat keterpilihan Sudirman Said yang hanya berkisar di angka 11-22 %, akan membuahkan kemenangan mutlak Ganjar – Yasin, menurut Bambang Pacul, kalau ilmunya benar, Ganjar-Yasin akan dapat 61,6 persen dalam titik terendah. Normalnya 65,4 persen, sementara estimasi paling top adalah 71,6 persen.
Hasil survey internal mereka yang sebenarnya lebih dekat pada keinginan partai, yang pada sisi lain ditopang hasil survei berbagai lembaga, terbantahkan oleh perolehan suara Sudirman Said – Ida Fauziyah yang mencapai angka 42 %, petahana yang didaulat sebagai penjaga benteng Banteng di lumbung PDI perjuangan, tidak berhasil mencapai kemenangan mutlak sebagaimana upaya selama ini melalui berbagai akrobat politik, termasuk komunikasi politik berbasis survey, jika dikaitkan dengan pernyataan Bambang Pacul, ternyata ilmu surveyor itu tidak benar.
Secara metodologis, hasil quick count yang jauh dari hasil survey, penting dihadirkan menjadi penggugat, keabsahan hasil survey yang ditolak oleh kenyataan hasil pemilu menyuguhkan pertanyaan ; Adakah kesalahan metodologis pada tahapan-tahapan survey itu, sehingga hasilnya tidak mampu mengungkap fakta politik yang sesungguhnya?.
Selanjutnya, pertanyaan perlu disasarkan pada integritas pelaku survey, apakah mereka sudah tidak mendedikasikan diri, ilmu dan lembaganya pada aktifitas ilmiah murni ? Jangan-jangan survey itu telah secara terencana, masif dan sistemik betul-betul diselewengkan dari jalur ilmiahnya ke jalur konspirasi-industri politik?
Dilihat dari konteks metodologis, publik penikmat informasi hasil survey, bisa membandingkan tingkat kepercayaan dan margin error yang ditetapkan pelaku survey, beberapa lembaga pelaku survey pemilukada Jateng, menetapkan tingkat kepercayaannya 95 persen dan margin error 2,5 – 3,6 persen. Bila dibandingkan dengan perbedaan yang jauh antara hasil survey dan hasil nyata sangat jomplang, secara metodologis survey itu berarti tidak kredibel.
Mungkinkah lembaga survey sekelas KOMPAS, LSI dan SMRC tidak kredibel secara metodologis? Bila dijawab iya, itu akan sangat tidak masuk akal mengingat lembaga itu adalah maestro-maestro survey di Indonesia. Bila dijawab tidak, pada kenyataanya, hasil survey mereka jauh berbeda dibanding hasil sesungguhnya, bahkan untuk kasus Jakarta, dimana pilgub Jakarta 2017 hasilnya beretolak belakang dengan hasil survey.
Jika demikian, bisa kita pahami bahwa, persoalannya tidak hanya terhenti pada problem metodologis, faktor integritas surveyor yang patut dicurigai-diduga tidak berpihak pada netralitas ilmiah, menentukan pada ketidak tepatan prediksi hasil survey. Penulis berpikir, keabsenan sikap netral surveyor berikut lembaganya bisa kita sebut sebagai Human and institution error yang berdampak pada perusakan citra ilmiah metodologi survey.
Bila kedua hal itu tidak layak distempelkan pada surveyor secara personal maupun kelembagaan, maka kemungkinan berikutnya adalah ketidak mauan pemilih untuk memberikan informasi yang benar, motifnya bermacam-macam, salah satunya, bisa saja sebagai strategi pertahanan pemilih agar suara Sudirman Said-Ida Fauziyah tidak dirusak jika diketahui pihak lawan, sebagai pendukung Sudirman Said-Ida Fauziyah, mereka yang mengecoh surveyor secara alamiah merasa perlu berkontribusi melakukan perlindungan suara Sudirman Said-Ida Fauziyah.
Terlepas dari pertanyaan kenapa dan bagaimana terhadap hasil survey yang bertolak belakang dengan fakta politik Pemilukada Jawa Tengah, kejadian ini menjadi daftar ketidak benaran prediksi perolehan suara oleh lembaga survey di Indonesia, yang selanjutnya bisa menjadi pembenar faktual terhadap penilaian buruk rakyat dan memperkuat ketidak percayaan publik terhadap lembaga survei. Pendapat yang mengatakan bahwa publikasi survey-survey itu adalah bentuk dari penggiringan opini, secara faktual mendapatkan ruang pembenaran dan secara teoritis bisa kita kaitkan dengan agenda setting dan spiral of silence.
Sebagaimana kita maklum dari banyak ahli komunikasi, agenda setting adalah sebuah penelitian efek media massa, teori ini dicetuskan oleh MaxwellMc.Comb dan Donal Shaw. Bermula ketika mereka mengadakan studi empiris tentang peran media dalam pemilihan pemilihan presiden pada tahun 1968 di Chapel Hill, North Carolina, dan secara simultan mengumpulkan data tentang agenda berita media dan agenda publik. Teori agenda-setting berasumsi bahwa agenda media mempengaruhi agenda publik, bahwa apa yang penting menurut media akan dianggap penting oleh publik. Atau menurut McCombs, konsep agenda-setting merupakan sebuah metaforis dari gagasan bahwa media memiliki kemampuan untuk mentrasfer agenda berita mereka terhadap agenda publik.
Meski begitu, McCombs dan Shaw tidak menutup pandangan yang menghargai dan meyakini bahwa audience juga memiliki kekuatannya sendiri, yaitu dengan hipotesis selective exposure. Hipotesis ini menjelaskan bahwa manusia cenderung hanya akan melihat dan membaca informasi serta berita yang sejalan dan tidak mengancam atau bertentangan dengan kepercayaan yang selama ini mereka miliki dan bangun. Hal ini menunjukkan kekuatan dan kebebasan manusia dalam memilih, menyortir, dan menerima pesan yang disampaikan oleh media massa (pakarkomunikasi.com).
Griffin (2009) menjelaskan, teori silent communication atau komunikasi hening, dapat disebut dengan teori spiral of silence. Teori ini digagas oleh Elisabeth Noelle Neumann. Ia mengklaim bahwa apa yang menjadi pilihan politik seseorang akan sangat berkaitan erat dengan indikator kemungkinan yang akan terjadi dalam waktu dekat. Teori spiral of silence adalah teori yang menjelaskan tentang perkembangan dan penyebaran opini publik. Pada intinya, konsep spiral of silence menyatakan bahwa orang-orang akan merasa tertekan ketika mereka berpikir bahwa mereka berada pada kelompok minoritas.
Beberapa poin penting dalam teori ini. Pertama; A Quasi Statistical Organ Sensing The Climate Of Opinion, bahwa sebuah angka statistik akan mempengaruhi puncak opini. Elisabeth Noelle Neumann sangat kagum dengan upaya orang- orang untuk melihat puncak opini publik. A Quasi Statistical Organ Sensing The Climate Of Opinion adalah sixth sense atau sebuah kekuatan memprediksi tentang apa yang dipikirkan oleh publik secara umum. Nilai statistik dalam hal ini adalah sesuatu yang mempengaruhi opini publik.
Kedua; Ketakutan akan terisolasi. Poin ini menyatakan bahwa meskipun seseorang berada pada posisi opini yang berbeda, tetapi ia akan mengikuti opini kelompok mayoritas. Hal ini dilakukan agar ia tidak terisolasi dari lingkungannya.
Ketiga; Ada saat bicara, ada saatnya diam. Karena orang-orang menjelaskan bahwa pilihan mereka untuk diam merupakan sebuah upaya untuk mencegah terisolasinya mereka dari lingkungan, maka Neumann menyatakan bahwa individu yang mengetahui bahwa opini mereka mulai menyebar satu persatu akan memilih untuk menyebarkan opininya sendiri. Sementara bagi individu yang merasa bahwa pendapatnya hanya diketahui oleh dirinya sendiri akan memilih menyimpan opini tersebut dalam dirinya dan memilih diam. Dalam artian, individu memiliki alasan tersendiri, kapan mereka harus diam atau kapan mereka harus menyuarakan opininya.
Dari teori diatas, kita bisa menyimpulkan bahwa telah terjadi komunikasi hening antara surveyor dan responden pada setiap tahapan survey, kemudian, ketika hasil survey itu dilansir, kekuatan dan kebebasan masyarakat Jawa Tengah memilih, menyortir, dan menerima pesan hasil suvey yang disampaikan oleh media massa tetap terjaga, tidak goyah oleh publikasi media, pada saatnya, hari pencoblosan menjadi waktu tepat menyampaikan pendapat mereka dengan memilih Sudirman Said Ida Fauziyah, yang akhirnya hasil quick count dan real count mengungkap fakta sesungguhnya, sejumlah lembaga survey ternama tidak berhasil mengungkap fakta politik yang senyatanya.
Semoga , kejomplangan data survey dan hasil quick count yang kita saksikan, hanyalah ketidak tepatan metodologis belaka dan kekalahan lembaga survey atas kecohan komunikasi hening responden, sehingga kedepan lembaga-lembaga survey itu berbenah dalam koridor ilmu pengetahuan agar mereka bisa dipercaya oleh publik.
*) Pengamat Politik
Apa pendapatmu tentang ini :)