TERASJATENG.COM | Setiap hari guru lewat ada saja rasa haru. Murid-murid mengenang hari guru itu sehari. Ingatan tentang guru sering tidak bisa panjang. Apa yang paling diingat dari guru-guru kita? Kemarahannya, didikannya, ajaran-ajaran dan petuahnya?. Seorang kawan yang sudah menjadi sejarawan di telatah Yogyakarta mengisahkan gurunya yang perhatian, penyabar dan pengayom. Sang guru menegur muridnya dengan cara halus. Tanpa bentakan, tanpa pukulan.
Saya jadi ingat apa yang dilakukan guru saya di waktu saya sedang kreatif-kreatifnya. Waktu itu aku juara kelas di SMP. Ketika ulangan Bahasa Jawa, aku menulis huruf-huruf A, B, C dengan tulisan yang indah dan kreatif sesuai imajinasiku. Bu Mega nama yang biasa disematkan oleh aku dan teman-temanku. Bu Mega marah besar, imajinasiku dianggap kesalahan berarti. Aku disidang di ruang guru. Guru kesenian, guru PPkn, dan guru lainnya diajak mendukung Bu Mega untuk mengadiliku. Hatiku kesal, marah namun cuma diam saja. Aneh saja dalam batinku, mengapa imajinasi dan kreativitas dilarang dalam pendidikan?.
Saya mengisahkan itu untuk mengingat kembali bagaimana tindakan guru amat sangat berpengaruh pada muridnya. Saya tidak tahu persis dan ingin tahu lebih jauh bagaimana pengalaman-pengalaman berkesan dari seorang Ki Hajar Dewantara. Aku jadi ingat saat Soekarno menyebut Ki Hajar Dewantara sebagai gurunya. Kata-kata apa yang ia wariskan kepada orang-orang itu, tindakan apa yang membekas ke dalam hati Si murid. Perlakuan dan cinta kasih seperti apa yang diberikan oleh guru sehingga membekas di hati murid.
Cinta
Saya optimis saja guru-guru kita selalu dan senantiasa mengajar dengan “cinta”. Diantara banyak soal dan ruwetnya persoalan pendidikan kita, saya masih menyimpan optimisme dan juga percaya penuh kepada “guru”.
Walau nilai PPG para guru banyak yang jeblog, kompetensi guru dinilai masih minim, saya akan tetap optimis kepada “guru”. Seburuk apapun citra guru saya masih melihat jiwa-jiwa penuh cinta.
Mereka berpikir keraa bagaimana anak-anak berpikir maju, memiliki kemampuan dan juga prestasi yang mumpuni. Mereka para guru tidak berhenti siang dan malam memikirkan bagaimana anak didik mereka bisa belajar dan menerima pelajaran sebaik mungkin.
Banyak kisah guru honorer yang membuat miris. Kerja dan pengabdian mereka menjadi suluh dan penerang jiwa dan hati murid-muridnya.
Bila Oemar Bakri “banyak ciptakan menteri”, maka guru kini banyak menciptakan orang-orang hebat. Guru yang merasa senang sekali saat anak-anak mereka tertanam nilai kejujuran. Guru yang bangga melihat muridnya berhasil dengan usaha mereka sendiri. Guru yang hatinya meleleh saat melihat anak didik mereka menjadi pejuang anti korupsi di tengah maraknya korupsi.
Kegigihan dan cinta kasih yang ditebar di dalam kelas itulah yang kelak akan membuahkan hasil yang terang saat anak didik mereka menyemai benih-benih kejujuran, tanggungjawab dan cinta kasih.
Guru-guru kita lahir dari didikan alam. Mereka adalah pekerja keras. Mereka terbiasa di tempa zaman. Nasib menjadi guru bukan hanya keterpaksaan tetapi jalan nurani. Menjadi guru sering dipilih dari sedikit orang sebagai jalan pengabdian, jalan terang. Banyak para guru muda memutuskan menjadi guru sebagai pilihan hidup. Apa yang mereka inginkan adalah senyum manis, keberhasilan muridnya serta budi hati muridnya yang indah.
Cita-cita guru hanyalah sederhana, sesederhana doa yang diucap muridnya menjelang tidur. Mendoakan gurunya sehat gembira memberi riang belajar bersama.
Guru yang penuh cinta itu bukan hanya dirindu setiap langkah dan gerak-geriknya. Namun juga dirindu petuah dan ajarannya.
Ki Hajar Dewantara menyebut sistem among. Guru itu cuma penuntun. Ia sekadar teman hangat bagi muridnya menjadi lebih merdeka dan menemukan dirinya. Guru yang menjadi penegur saat murid melakukan salah dan berbuat melenceng. Guru yang setelah marah lekas bisa bercanda kembali dengan murid-muridnya.
Guru cinta tentu tidak ingin muridnya layu dan mati seperti bunga. Guru cinta ingin muridnya mekar sepanjang masa. Menebar harum dan indah di mata.
*Guru Pejuang*
Guru-guru kita tetap menjadi pejuang. Jalan pengabdian guru itu seumur hidup. Tidak heran seorang guru sejati senantiasa dicari bahkan setelah mati. Orang terus mencari petuahnya, teladan-teladan hidupnya dan mengingat apa yang menjadi warisan pemikirannya.
Sebagai pejuang seorang guru bahkan lupa kalau apa yang dilakukannya adalah sebuah profesi. Sesuatu yang layak dihargai, layak mendapatkan imbalan setimpal dari kerja dan tugas kesehariannya.
Mengapa banyak guru di Indonesia protes dan ingin diangkat menjadi PNS? Itu sebagian kecil guru yang pada akhirnya harus angkat tangan sebagai tanda bahwa ia sudah tidak ada pilihan lain selain menyuarakan kehidupan dan nasibnya yang tidak kunjung disejahterakan.
Sejatinya perjuangan guru adalah memperjuangkan muridnya sendiri. Ia berjuang agar ia dipahami, agar apa yang ia sampaikan masuk dalam hati sanubari Si Murid. Agar yang ia sampaikan bisa berguna bagi hidup murid kelak.
Menjadi “Guru”
Menjadi guru adalah proses tidak selesai. Ia sangat fleksibel berada dalam posisi manapun dalam masyarakat. Saat di depan ia menjadi contoh atau panutan. Saat di tengah ia mengayomi, momong. Saat ia berada di belakang ia menjadi sosok yang terus memotivasi, memberi dukungan dan sumbangsih untuk murid.
Itulah mengapa menjadi guru itu adalah proses yang tidak bakal usai. Saya jadi ingat kata-kata Kiai Dahlan yang berpesan kepada jamaah Muhamadiyah : Jadilah guru sekaligus murid. Senada dengan itu Ki Hajar pun memberi wejangan kepada kita bahwa setiap tempat adalah sekolah, setiap orang adalah guru.
Arif Yudistira
Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo
Apa pendapatmu tentang ini :)