Ketika perbincangan mengenai sosok Ibu, hal yang muncul diantaranya selalu dikaitkan dengan peran teknis perempuan pada aktivitas reproduksi, yaitu melahirkan dan memiliki anak dan peran dalam perawatan serta pengasuhan. Ketika perempuan menjadi ibu identik dengan tugas domestik dan tidak produktif. Lalu bagaimana jika ibu kembali belajar dalam instansi formal?
Pendidikan di negara ini sudah dijadikan hak bagi setiap warganya tidak terkecuali perempuan, khususnya ibu. Namun, hal ini menjadi perhatian khusus dikarenakan umumnya, pelajar atau mahasiswa adalah mereka yang bebas atas pengasuhan anak, dan peran sebagai ibu. Dalam masyarakat juga tidak lazim ketika seorang ibu menambah peran publik menjadi pelajar atau mahasiswa. Konstruksi patriarki dari pengasuhan ibu yang intensif membuat perempuan sering terjebak dalam sindrome “good mother” (Dillaway dan Pare, 2008). Sindrome ini sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan secara sosial mengenai cara seorang ibu untuk sepenuhnya berpusat pada anak dan memberikan dukungan emosional, fisik, dan hiburan untuk anak-anak mereka secara aktif.
Hal tersebut tentu saja memunculkan stigma baru bagi ibu ketika dirinya tidak sesuai dengan konstruksi dalam masyarakat. Seperti ibu yang tidak baik, abai terhadap anak dan keluarga dan lain sebagainya. Tentu saja, tidak mudah mengahadapi stigma tersebut. Ketika seseorang tidak melakukan hal yang menjadi kebiasaan dalam masyarakat pasti memiliki konsekuensi seperti mendapat gunjingan.
Selanjutnya, kembalinya ibu ke dunia pendidikan memunculkan berbagai tantangan baik dari internal dan eksternal. Di samping stigma bagi ibu, tantangan yang harus dihadapi ibu dari luar adalah tuntutan akademis. Rutinitas ibu dalam mengasuh dan merawat anak tentu saja jauh dari atmosfer akademik. Hal ini juga berdampak pada prioritas ibu. Apakah keluarga ataukah pendidikan. dari sisi internal, ibu juga memiliki beban ganda. Penelitian Taukeni (2014) menyatakan bahwa tantangan utama dari ibu yang melanjutnkan pendidikan adalah kekurangan waktu untuk mengelola peran dalam belajar dan pengasuhan. Penelitian lain menyebutkan bahwa ibu yang melanjutkan pendidikan perlu mengorbankan satu peran hanya untuk memenuhi pran lainnya, (Wainwright dan Marandet, 2010).
Melihat tantangan yang tidak mudah, tentu saja seorang ibu yang memutuskan untuk kembali belajar memiliki motivasi yang tinggi serta dukungan yang memadai. Motivasi yang tinggi dari ibu akan mengatasi berbagai permasalahan seperti kondisi emosional yang merindukan anak, rasa bersalah karena tidak instensif dalam pengasuhan, kondisi tuntutan akademik yang identik dengan persaingan prestasi, penugasan yang diburu waktu, jadwal perkuliahan yang ketat. Memiliki motivasi yang tinggi akan membantu ibu mencapai tujuan belajar.
Di samping motivasi, dukungan dari keluarga juga dapat membantu ibu dalam menjalani peran barunya. Pengasuhan dan pekerjaan rumah tangga dapat dibagi tugaskan kepada pasangan. Kehadiran ayah dalam pengasuhan juga sama pentingnya dengan kehadiran ibu. Meskipun tantangan internal ibu dengan kehadiran ayah tidak serta merta hilang, namun dapat membantu ibu dalam menyelesaikan perannya ketika ibu tidak ada di rumah.
Menjadi ibu yang kembali belajar memang tidak mudah. Banyak hal yang perlu diperhatikan seperti komunikasi kepada pasangan dan anak, pembagian peran, pengaturan aktivitas dan managemen emosional. Tantangan tersebut dapat diminimalisir ketika ibu memiliki motivasi yang tinggi serta support sytem yang kuat. Meskipun hal tersebut tidak mudah, banyak ibu yang sukses menjalankan peran gandanya. Sebut saja Ibu Atalia Ridwa Kamil, Ustazah Oki Setiana Dewi, Dian Sastro, dan masih banyak sosok perempuan hebat lainnya. Tentunya, Cita-cita yang besar akan mengalahkan berbagai permasalahan, bukan?
*Penulis adalah aktivis perempuan di Batang – Jawa Tengah
Apa pendapatmu tentang ini :)