Oleh: Zainal Arifin
Pengamat Ideologi dan Sosial / Dosen Universitas PGRI Semarang
Sesuatu yang membanggakan seseorang atau sesuatu yang “dianggap” sebagai prestasi tertinggi akan cenderung dipamerkan. Kecenderungan untuk pamer seperti ini jamak terjadi media sosial. Ada yang suka pamer kegiatan travelling. Ada yang suka pamer barang mewah. Adapula yang suka pamer makan di bistro berkelas.
FENOMENA “pamer” di medsos semacam ini–dalam tradisi cultural studies—dibicarakan secara tuntas oleh Jean Baudrillard sebagai sebuah hiperealitas. Hiperealitas merupakan kondisi yang menggambarkan keadaan seseorang yang menginginkan orang lain menangkap “identitas palsu”-nya ditangkap sebagai “identitas nyata”. Identitas-identitas palsu ini sengaja disusun di media sosial secara “framing” supaya orang lain hanya dapat menangkap identitas palsu yang disuguhkan tanpa diberi kesempatan untuk melihat identitas nyata kehidupannya.
Konsep hiperealitas yang digagas Baudrillard banyak terilhami konsep Lacan tentang “simbolik”, “imajiner”, dan “nyata”. Hiperealitas dibangun untuk merespon fenomena sosiologis dan psikologis prilaku konsumerisme yang berkembang pesat di pelosok dunia. Dalam paradigma berpikirnya, Baudrillard mengatakan bahwa pada era simulasi ini, “realitas” tak lagi memiliki “eksistensi”. Setiap orang bebas “berganti identitas” meski terkadang identitas penggantinya tidak sesuai dengan kondisi aslinya.
Untuk menjelaskan konsep hiperealitas, kita dapat meminjam fenomena nyata di sekitar kita. Orang yang biasa minum kopi di kedai pinggir jalan, kemudian mendapat kesempatan minum kopi di coffeeshop (baca: gerai kopi modern), maka ia akan cenderung untuk memotret lalu memamerkannya di media sosial. Ada dorongan dari alam bawah sadarnya untuk “memaksa” orang lain untuk lebih mengakui “identitas semu” saat minum kopi di coffeeshop, daripada “realitas nyata” saat minum kopi di kedai pinggir jalan. Prilaku seperti ini masuk dalam katagori hiperealitas.
Begitu pula dengan orang yang biasa makan nasi pecel dengan lauk peyek. Ketika tiba-tiba dia makan di bistro terkenal, maka tanpa sadar akan muncul dorongan dalam dirinya untuk pamer “ritual bersantap”. Dia akan meng-upload gambar aneh-aneh, mulai foto selfie yang menunjukkan simbol-simbol lokasi tempat makan, foto menu makanan sebelum acara bersantap, atau foto bukti lembar pembayaran yang diberikan kasir. “Identitas semu” makan di bistro ini sengaja lebih ditonjolkan supaya orang lain beranggapan dirinya sudah biasa makan di bistro terkenal. Prilaku ini juga masuk katagori hiperealitas.
Tak terkecuali dengan seorang miliyuner yang biasa makan di restoran dan hidup mewah di habit perkotaan. Bila suatu waktu mereka punya kesempatan traveling ke desa-desa, mereka akan cenderung meng-upload foto aneh-aneh seperti selfie bersama sapi, makan nasi jagung dengan view pesawahan, atau foto panen padi bersama petani. “Identitas semu” ala orang desa ini diharapkan mampu menggantikan “karakter robotik” ala perkotaan, supaya citra yang ditangkap orang lain terhadap dirinya terlihat lebih teduh dan humanis. Ini juga bagian dari hiperealitas.
Topeng
Prilaku-prilaku yang cenderung mengarah pada hiperealitas ini menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan prilaku masyarakat di era sibernetik ini. Media sosial tidak lagi sekadar alat komunikasi, melainkan berubah menjadi alat pembentukan topeng citra diri. Persoalan topeng mana yang hendak digunakan, itu bergantung pada bentuk konstruksi yang sedang dirancang oleh masing-masing individu. Semua orang dapat bermain topeng dan semua orang juga bebas berganti topeng.
Lahirnya topeng-topeng citra diri ini menyajikan pemandangan absurd pada tampilan seseorang di media sosial. Orang berparas biasa, di media sosial bisa berubah menjadi lebih kinclong seperti paras-paras artis Korea. Orang yang aslinya pendiam, di media sosial bisa-bisa saja berubah menjadi sangat ceriwis dan terbuka. Bahkan, orang berperawakan “tidak meyakinkan” sekalipun bisa-bisa saja berubah menjadi sangat berwibawa karena konstruksi angle-angle foto yang disuguhkannya.
Dunia menjadi jungkir-balik oleh realitas semu yang ditampilkan di media sosial. Maka tak mengherankan bila kemudian ada banyak orang kecewa karena gadis impiannya tak seindah foto profil facebook-nya. Tidak sedikit pula orang kehilangan kekagumannya ketika orang yang dipuja lewat kicauan twitter ternyata memiliki prilaku yang tidak mencerminkan watak di media sosialnya. Setiap orang memang berhak kecewa dengan “realitas semu” yang dibangun di media sosial, tapi begitulah adanya konsep citra yang dibangun dalam bingkai hiperealitas; begitu palsu dan bertopeng.
Ukuran diri
Apakah prilaku-prilaku yang cenderung mengarah pada hiperealitas adalah sebuah kesalahan? Tentu saja tidak. Setiap orang berhak untuk membangun citra diri. Berhak untuk mematok self–value pribadinya. Bahkan, berhak pula berlaku edan selama masih ada dalam koridor kepantasan, tidak melanggar wilayah hukum, tidak mengganggu privasi orang lain, dan tidak memprovokasi orang lain dengan tindakan-tindakan yang dilakukannya.
Bagi orang yang intens dalam cultural studies –terutama yang condong pada kajian cultural matrialism—, prilaku hiperealitas dapat dimanfaatkan untuk mengukur kapasitas diri seseorang. Sebab apapun yang ditampilkan melalui “realitas semu” merupakan “batas atas” dari kapasitas diri seseorang. Orang yang sering upload foto mobil miliknya, maka mobil adalah “batas atas” dari kekuatan ekonominya. Orang yang suka upload foto ekspresi wajah, maka wajah adalah “batas atas” dari kemenarikan fisiknya.
Dengan berperilaku yang mengarah pada hiperealitas, —tanpa sadar— kita sedang membeberkan “batas atas” kita pada orang lain. Bila tidak hati-hati, bukannya pujian yang kita dapatkan, tapi justru celaan dan cemoohan. Maksud hati ingin pamer, tapi orang lain justru dapat menilai kapasitas kita dari apa yang kita pamerkan. Berhati-hatilah ber-hiperealitas di media sosial.
Apa pendapatmu tentang ini :)