“Tak banyak orang yang menganggap kekuasaan sebagai borgol, lebih banyak yang melihatnya sebagai gelang emas yang bisa bikin orang iri”
(Goenawan Mohamad)
Ini belum 2024, tetapi persaingan dan auranya sudah begitu seru. Bila dulu orang menganggap kekuasaan sebagai sebuah mandate, kini sudah berubah. Semula kekuasaan dimaknai sebagai ladang pengabdian, ladang perjuangan, wadah eksistensial. Saya jadi ingat ketika dulu Jokowi sedang digadang-gadang maju menjadi capres di tahun 2004. “Jokowi tidak butuh kekuasaan, tetapi ia membutuhkan ladang pengabdian yang lebih luas.”
Saat kedua kalinya ia maju sebagai calon presiden, orang masih menaruh harapan. Setidaknya sekali lagi rakyat memberikan kepercayaan kepadanya. Orang dibuat kaget bukan main, Prabowo dan Sandiaga Uno pun diajak menjadi menteri. Orang salah duga, politik adalah kejutan. Politik tidak lagi nampak sebagai sebuah wadah berjuang.Gambar-gambar mulai ramai dipasang. Orang memerlukan wadah atau ruang yang cukup luas untuk panggung.
Panggung kekuasaan itu mahal. Jangan kaget saat para calon presiden 2024 ramai berebut panggung di jalanan, di pelosok desa sampai gang-gang sempit dengan foto dan baliho mereka. Jangan lekas percaya kalau mereka bilang “Itu kader-kader partai bawah yang solid dan gotong royong”.
Betapa mahal dan tidak rasionalnya politik kekuasaan kita hari ini. Saat kepercayaan publik kepada demokratisasi kian turun, mereka menambah alasan ruang demokrasi kita memang dikuasai oligarki semata. Politik memang tidak lagi murah, politik butuh cuan. Apalagi kalau anda hendak menjadi orang nomor satu di Indonesia. Modal kemampuan kepemimpinan dan prestasi saja tidak cukup untuk menjadi presiden. Anda bisa lihat betapa pemerintahan Jokowi jilid 2 adalah bentuk manifestasi duet antara Jokowi dan Luhut. Duet itu seperti menggeser Maruf Amin sebagai wakil presiden. Publik bisa membaca betapa jalan menuju kekuasaan memang tidak murah.
Logika Dagang
Kekuasaan menjadi mirip perdagangan. Bukan hanya tawar menawar modal, tetapi juga amat transaksional. Modal secukupnya, untung selangit. Politik kekuasaan kita mirip seperti itu. Anda bisa cek kekayaan para pejabat Negara sebelum dan sesudah menjadi menteri. Orang bisa super bingung dan menduga-duga; “Kok bisa ya, padahal tidak punya usaha sampingan, kok kekayannya bisa meroket setinggi langit?”.
Menjadi pejabat publik sungguh rentan dengan jebakan korupsi. Konsep pengabdian menjadi luntur saat orang duduk di kursi kekuasaan. Fasilitas dan segala kemewahan menjadi dunia yang lekat dengan kekuasaan. Kebanyakan orang saat tidak duduk di kekuasaan, orang bisa ramai-ramai berbondong-bondong berebut simpati dan juga merayu rakyat. Saat mereka menjadi pejabat dan wakil konstituen, janji kepada publik serta komitmen yang indah di awal seperti dilupakan.
Revolusi mental yang dulu digaungkan oleh Presiden Jokowi yang lekat dengan kemandirian, dan berdikari, kini tidak lagi terdengar. Utang menjadi pondasi dan juga mesin massif pembangunan di era Jokowi. Utang yang fantastis sepanjang rezim itu bukan hanya menunjukkan ketidakberdayaan kita sebagai Negara, akan tetapi sebagai simbol pasif dan matinya kerja-kerja ekonomi kita.
Janji penuntasan kejahatan HAM di masa lalu dan juga pengusutan kasus orang hilang yang dulu diucapkan Jokowi kini menguap entah kemana. Sikap aparat yang represif dan juga semakin aktifnya polisi cyber membuat rakyat makin ditakut-takuti. Negara seperti menunjukkan taringnya terhadap kritik yang dilontarkan oleh masyarakat.
`
Di pemerintahan SBY kita ingat Cikeas yang disebut George Yunus Adi Tjondro sebagai sebuah bisnis kuat untuk menyiapkan masa akhir SBY. Di masa Jokowi, kita semula dibuat lega dengan janji politik Jokowi yang anti politik dinasti. Saat perjuangan keras Jokowi dan juga semua tangan kekuasaan digunakan untuk mendukung anaknya menjadi wali kota di Solo dan Medan, kita jadi mahfum bahwa kekuasaan yang berlebihan memang cenderung korup. Jokowi menempatkan anak-anaknya menduduki jabatan dan bisnis strategis di akhir kepemimpinannya. Jokowi juga nampak sekali ambisius menggeret semua jaringan keluarganya menempati sector-sektor penting dalam pemerintahan. Sebagai politik balas jasa, Jokowi juga mengangkat semua relawan dan pendukungnya menjadi menteri, komisaris BUMN dan juga menempati lembaga-lembaga penting Negara. Politik jadi mirip seperti pertunjukan opera yang menempatkan rakyat sebagai penonton semata.
Saya jadi ingat cerita pendek Oscar Wilde, Pangeran Yang Selalu Bahagia, nasib rakyat seperti burung yang akhirnya mati. Kita ingat bahwa di akhir pemerintahannya SBY mengesahkan undang-undang yang isinya Presiden yang pensiun berhak mendapatkan rumah senilai satu miliar. Jokowi sebentar lagi akan mendapatkan fasilitas satu miliar setelah dia pensiun. Jokowi tahu betul bahwa di akhir kekuasaannya setidaknya ia harus mengembalikan apa yang sudah dia keluarkan. Anak-anaknya pun berhasil menjabat posisi dan jabatan penting.
Memimpin Itu Merampok
Jargon memimpin itu menderita sudah menjadi jargon yang lapuk. Orang tidak lagi memegang jargon itu sebagai pedoman apalagi prinsip seperti para pendahulu bangsa kita. Soekarno, Mohamad Hatta adalah seorang pemimpin yang rela menderita demi kepentingan bangsanya. Mereka tidak memungut keuntungan dari kekuasannya.
Sikap asketisme pemimpin di masa sekarang kini sudah mulai menghilang. Orang lebih memandang kekuasaan sebagai sebuah ruang kompetitif. Orang tidak lagi berpikir apa yang bisa diberikan saat kita menjabat sebagai pemimpin. Sebaliknya, orang sudah berpikir apa yang akan saya dapatkan saat saya menjabat sebagai pemimpin.
Lebih parah lagi, kursi kekuasaan dijadikan ruang untuk meraup sebanyak-banyaknya keuntungan. Kekuasaan menjadi ruang untuk merampok bangsa kita yang kaya raya ini. Benarlah kata GM, kekuasaan tidak lagi dipandang sebagai borgol, tetapi sebagai gelang emas yang membuat orang iri.
Penulis adalah Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo
Apa pendapatmu tentang ini :)