Oleh: Tejo Waskito, M.Pd
Dosen Sekolah Tinggi Ekonomi dan Bisnis Islam Lampung
Ketika Presiden Joko Widodo mengumumkan deretan nama menteri yang akan membantunya dalam jajaran kabinet Jilid II-nya, publik segera bergemuruh lantaran munculnya sejumlah nama yang dinilai tak hanya kontroversial, tetapi juga menimbulkan pertanyaan yang fundamental. Nama-nama seperti Prabowo Subianto dan Fachrul Razi misalnya, dinilai tidak relevan mengisi pos kementerian yang akan diembannya. Prabowo Subianto misalnya, bekas penantang dua periode berturut-turut yang tiba-tiba hadir mengisi pos Kementerian Pertahanan, sebuah posisi yang taktis sekaligus strategis. Sementara Fachrur Razi, banyak orang kecewa lantaran Menteri Agama bukan berasal dari Pesantren atau Boarding School, tapi Militer. Namun, semua itu menjadi melempem dengan hadirnya bisnisman ulung sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Ya, dia adalah Nadiem Makarim.
Nama Nadiem akhir-akhir ini santer menjadi perbincangan publik, bukan karena keberhasilannya dalam membangun Go-Jek, tetapi lantaran dirinya diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud). Diangkatnya Nadiem sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bukan saja membuat publik melongo, tetapi sekaligus menimbulkan pertanyaan besar di setiap benak mereka. Keputusan Presiden memilih Nadiem yang dianggap salah kaprah ini makin menambah deretan panjang kekecewaan publik yang sedari awal telah mendeklarasikan diri enggan mendukungnya. Baground keahlian Nadiem-lah yang membuat mereka menudingnya tidak becus membenahi sektor pendidikan. Lebih-lebih, kementerian yang dianggap sakral ini untuk pertama kalinya dipimpin oleh praktisi, bukan akademisi. Hal ini tentu menimbulkan asumsi dan prediksi—untuk mengatakan ini sebuah tantangan—bagaimana terobosan-terobosan yang akan dilakukan Nadiem ke depan? Banyak publik meragukan keberhasilannya karena adanya perbedaan dunia pendidikan dan dunia bisnis. Namun demikian, tidak sedikit pula publik yang mengapresiasi langkah orang nomor wahid di Indonesia itu memilih Nadiem sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Nadiem Makarim; Sosok Pemimpin yang Demokratis
Banyak orang bertanya sekaligus mempertanyakan, apa kecakapan yang dimiliki seorang Nadiem sehingga terpilih sebagai Meneteri Pendidikan dan Kebudayaan? Bagaimana Presiden Jokowi bisa sedemikian percaya kepada Nadiem untuk membenahi sektor pendidikan? Pertanyaan ini segera terjawab oleh viralnya video pidato pengukuhan Nadiem sebagai Menteri selama dua minggu terakhir. Video itu menunjukkan kecakapan dan kesiapan dirinya menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Kita tentu belum bisa berkomentar panjang lebar soal gebrakan apa yang akan dilakukan Nadiem Makarim. Ini tidak lain karena belum lagi genap satu purnama dirinya menjadi Menteri urusan nalar. Kita hanya bisa berspekulasi, menganalisis, membaca arah dan gebrakan apa yang akan dilakukan Nadiem ke depan melalui ceramah intelektualnya itu. Salah satu perihal yang menarik dari Nadiem dalam hal ini adalah manajemen kepemimpinan yang dibangunnya. Nadiem membangun manajemen kepemimpinan yang demokratis dengan prinsip yang diusung bergotong royong.
Kepemimpinan demokratis ini terlihat jelas misalnya dengan tidak adanya gebrakan 100 hari kerja layaknya jamak dilakukan oleh para menteri lainnya. Dalam 100 hari kerjanya itu, lelaki yang baru menginjak usia 35 tahun itu justru hanya ingin duduk, mendengar, dan berbicara bersama para pakar yang telah bertahun-tahun menekuni dunia pendidikan dan secara eksplisit telah memberi dampak kepada kualitas pendidikan. Meski dirinya memiliki seabrek pengalaman dan prestasi, tetapi itu tidak menjadikannya sebagai pemimpin yang otoritarian. Starting awal Nadiem ingin memfokuskan dirinya untuk belajar. Uniknya, pria lulusan Master of Business Administration di Harvard Business School itu memposisikan dirinya bukan untuk menjadi guru, tetapi seorang murid yang belajar dari nol, meskipun ia sendiri mengaku telah memiliki segudang program kerja yang menanti untuk disentuh. Namun, sebelum menerapkannya dia ingin menganalisis, melihat, dan mendengar seperti apa sistem pendidikan yang tengah berjalan saat ini. Yang perlu digaris bawahi dalam hal ini adalah mendengarkan. Adapun prinsip gotong royong dalam hal ini menjadi kata kunci dalam semua aktivitas dan interaksi antar elemen, baik di level kementerian maupun di level dinas dan institusi pendidikan.
Arsitek Peradaban Virtual
Bukan kebetulan ketika pertama kali yang ingin dibenahi oleh Nadiem adalah merubah mindset. Ya, merubah nalar partikular menjadi nalar universal. Bukan nalar yang kerdil. Hanya dengan dinamika pemikiran terbukalah bangsa ini maju dan berkembang. Tanpa keterbukaan, mustahil kemajuan diraih. Nadiem sadar betul bahwa langkah terpenting dalam membenahi persoalan ini adalah pembenahan di sektor pendidikan sebagai ujung tombak masa depan. Itulah sebabnya, konon satu-satunya orang Indonesia yang pernah menerima penghargaan The Straits Times Asian of the Year itu hanya mau menjadi Menteri jika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Tak lain karena ia paham benar, jalan paling efektif mentransformasikan sebuah bangsa adalah sektor pendidikan.
Terus terang, saya tertarik dengan aksi akrobatik yang dimainkan Presiden Jokowi dan Nadiem Makarim. Saya benar-benar dibuat merinding dan nyaris tak tidur semalaman dengan keputusan Presiden Jokowi waktu memilih Nadiem. Tak henti-hentinya benak saya bertanya, apa gerangan yang akan terjadi lima tahun ke depan? Saya membayangkan dalam lima tahun ke depan, ada harapan yang menggunung soal inovasi di dunia pendidikan, layaknya ia memberi harapan besar lima tahun lalu melalui Go-Jek yang mampu membangun dunia virtual dan melipat jarak spasial. Apa yang akan terjadi untuk generasi terpelajar dalam lima tahun mendatang kita hanya bisa menanti sang arsitek peradaban virtual itu mampu memecah teka-teki pendidikan.
Kebijakan Revolusioner
Salah satu kelebihan Nadiem yang menonjol adalah akurasinya dalam memrediksi masa depan. Lewat pendidikan, Nadiem bermaksud merubah sistem budaya lama yang administratif-birokratis menuju budaya inovasi-digital. Pengalamannya mengenai hal ini terekam saat ia bersama Melinda Gates dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, ia menjabat sebagai salah satu komisaris Pathways for Prosperity for Technology and Inclusive Development yang fokus membantu negara-negara berkembang untuk beradaptasi dengan berbagai inovasi dunia digital yang mengubah budaya bekerja. Kini, Nadiem memiliki power untuk berinovasi membentuk generasi yang digital friendly. Kebijakan-kebijakan mengenai inovasi dalam hal ini terbuka lebar untuknya.
Dalam pidatonya ia mengatakan, kecepatan perubahan akan semakin mempercepat kehidupan. Bagaimana menghadapi kecepatan ini tiada cara lain selain investasi pengembangan Sumber Daya Manusia (Human Capital). Kini, kompetisi ekonomi bukan lagi lokal, tetapi seratus persen sudah global. Untuk itu, diperlukan langkah-langkah strategis-progresif untuk memenangkan persaingan global tersebut. Melihat peluang yang ada, Nadiem sebenarnya punya cukup banyak tenaga untuk membuat dunia pendidikan seperti yang diidealkan. Ini terlihat jelas dari langkah pengembangan Sumber Daya Manusia Indonesi menuju ekonomi digital. Langkah-langkah itu meliputi:
Pertama: kebijakan wajib mahir bahasa Inggris sebagai bekal interaksi di dunia global. Jika tidak memiliki kemampuan bahasa asing, hasrat untuk bersaing secara global tentu hanya imaji belaka. Maka, pembangunan Sumber Daya Manusia berdasarkan kemampuannya bahasa asing adalah wajib.
Kedua: memahami bahasa programing/coding sebagai sarana membangun peradaban dunia virtual. Sebagai ilustrasi, dulu kita membangun gedung dengan komposisi semen, batu, pasir, bata dan lain-lain. Kini di dunia digital, gedung-gedung yang dibangun adalah dunia virtual. Itu sebabnya, Indonesia membutuhkan para pembangun dunia virtual yang disebut coder, yaitu mereka yang menguasasi bahasa coding. Sehingga, pada akhirnya mereka mampu mengembangkan spesialisasi dan keterampilan yang dapat diterapkan secara mandiri.
Ketiga: mentorship/coaching. Ini merupakan titik muara pemikiran Presiden Joko Widodo dan Nadiem Makarim. Disaat Indonesia mengalami krisis radikalisme agama dan pengentalan identitas asal usul (anti bangsa liyan), Nadiem justru menawarkan dan mewajibkan menghadirkan tutor/mentor dari luar negeri. Mengapa? Karena sulit bagi negara untuk maju tanpa belajar dan bekerjasama dengan pakar dari luar negeri yang sudah berpengalaman. Sudah seharusnya, generasi muda Indonesia move on dari nasionalisme yang sempit dan membuka diri, membesarkan hati untuk bersikap terbuka. Karena nasionalisme sempit sangat berbahaya untuk masa depan pluralitas di Indonesia.
Keempat: pahami bahasa data (Statistik) dan bahasa jiwa (Psikologi). Point ke empat ini membuat saya teringat pada salah satu Novel Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Novel ini bercerita tentang distopia masa depan, bagaimana data menjadi senjata yang mampu menelanjangi tiap-tiap manusia. Prediksi Pram benar-benar kenyataan. Kini, siapapun yang mampu mengolah data, dialah penguasa dunia. Di era digital, hanya data yang berbicara. Jika kita tidak mampu menafsiri data, selamanya kita akan tertipu oleh data. Inilah pentingnya belajar Statistik. Statistik adalah bahasa logika untuk mengakses data secara kritis. Sementara pentingnya pemahaman bahasa jiwa (Psikologi) berfungsi sebagai pengelolaan manajemen relasi dan Sumber Daya Manusia. Pada dasarnya, unsur semua desain adalah Psikologi. Bagaimana mendesain aplikasi, mendesain website dan lain-lain, semua adalah Psikologi. Maka, seharusnya Psikologi menjadi mandatory course sejak di bangku SMA.
Akhirnya, kita hanya bisa berdoa dan berharap, Nadiem sukses mendesain dunia pendidikan yang mampu menciptakan peradaban dunia digital. Jika lima tahun lalu Nadiem sukses membuat jutaan pengangguran menjadi pekerja jalanan, maka tidak ada salahnya kita berharap selama jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem sukses membuat jutaan anak didik menjadi seperti dirinya.
Apa pendapatmu tentang ini :)