TERASJATENG.COM | Kretek, telah menjadi separuh hidup sebagian masyarakat Indonesia, baik dia selalu penikmat, pedagang, produsen hingga petani yang menjadi hulu bahan utama kretek yakni tembakau.
Dalam History of Indonesia (1959), sejarawan Belanda Bernard Hubertus Maria Vlekk menyebut tanaman tembakau pertama kali dikenalkan di Asia lewat orang-orang Spanyol yang singgah di Filipina pada abad ke-16. Lambat laun, tembakau pun tiba di wilayah Nusantara dan mulai ditanam secara sporadis pada permulaan tahun 1600-an.
Tak butuh waktu lama sampai komoditas ini menjadi populer sehingga timbul upaya monopoli oleh Kompeni di tahun 1626. Di saat bersamaan, kebiasaan mengisap lintingan tembakau yang disulut ujungnya sudah menjadi fenomena kebudayaan di kalangan elite lokal. Merokok dianggap dapat menunjukan status sosial.
Pertengahan abad ke-19, tembakau berubah menjadi salah satu komoditas unggulan Pemerintah Kolonial Belanda. Dengan harapan meraup penghasilan besar, tembakau mulai ditanam secara besar-besaran melalui sistem tanam paksa. Tak ayal, perkebunan tembakau pun bermunculan secara bertahap dari wilayah ujung timur Pulau Jawa, mulai dari Besuki, Kedu, Cirebon, sampai ke Batavia.
Mereka yang memonopoli tumbuhan berdaun lebar ini datang dari bermacam-macam kalangan. Selain pemilik perkebunan Belanda, ada pula orang-orang China di sekitaran Batavia. Sementara itu, orang-orang pribumi baru mulai menguasai sektor budidaya dan pengolahan tembakau di akhir abad 19.
Munculnya Tembakau Rakyat
Berdasarkan penelitian Arif Iksanudin yang dimuat dalam makalah “Perkembangan Perkebunan Tembakau di Karesidenan Kedu Tahun 1836-1900,” sekitar tahun 1830-an, Pemerintah Kolonial sudah mulai memaksa petani di beberapa wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Timur agar mau ikut menanam tembakau.
Sekitar tahun 1830-an, pemerintah memberikan sponsor kepada pengusaha Belanda bernama Jonkers untuk mengadakan kontrak dengan petani di sekitar wilayah lereng gunung Sumbing (Wonosobo, Megelang dan Temanggung). Jonkers memberikan bibit tembakau secara cuma-cuma dengan harapan para petani mau menjual kembali hasilnya dengan harga murah.
Bukannya untung, kerjasama yang berat sebelah tersebut malah membuat Jonkers melarat. Ia terus merugi karena petani setempat ternyata belum memahami tata cara menanam tembakau.
Percekcokan antara pengusaha dengan petani pun kerapkali terjadi akibat target panen yang dirasa terlalu tinggi. Secara sepihak, Jonkers menetapkan target 12.000 pikul setiap kali panen, dengan pembagian f 50 per pikul untuk tembakau kualitas rendah dan f 90 untuk tembakau kualitas tinggi.
Sekitar tahun 1840-an, Pemerintah Kolonial lantas mengganti Jonkers dengan pengusaha Van der Sluis. Peralihan kontrak ini tidak menghasilkan perubahan yang berarti, justru semakin meruncing. Bahkan, ketika petani mengalami gagal panen akibat kemarau dan abu vulkanik Gunung Merapi, Van der Sluis malah memutus kontrak dengan pemerintah.
Risiko usaha penanaman tembakau yang tinggi di sekitar Jawa Tengah kemudian memaksa pemerintah melepaskan tanam paksa untuk tanaman tembakau. Tak mau ikut merugi, Belanda kemudian lepas tangan dan membiarkan para petani menanam dan menjual sendiri hasil panen tembakau kepada pihak swasta.
Kearifan Lokal Pengolahan
Wonosobo yang merupakan dataran tinggi, cocok untuk dibudidayakan tembakau, wilayah lereng sumbing, Sindoro dan pegunungan Dieng sebagian penduduk menanam tembakau sebagai komoditas unggulan, sehingga menjadi salah satu penyedia salah satu produsen rokok terkenal di Indonesia.
Dalam proses pasca panen, tembakau diolah dalam bentuk rajangan kemudian dikeringkan, namun ada sebagian kelompok petani yang mengolah secara unik tembakau, yakni dengan digarang (asapi), metode ini menjadi ciri khas tembakau asli Wonosobo, dan hanya dibuat di Kecamatan Kalikajar (Bowongso dan Bakalan ), serta di Kecamatan Kejajar (Buntu dan Tieng).
Tembakau garangan diproses cukup panjang, dari dua wilayah tersebut petani menggunakan metode yang berbeda, wilayah Kejajar, proses dirajang halus secara manual secara bertahap tembakau yang telah dirajang langsung ditaruh di atas rigen (anyaman bambu berbentuk persegi panjang) dan langsung dicetak secara manual pula, setelah dicetak tembakau digarang (asapi) dengan kayu bakar selama 5 sampai 7 hari, kemudian setelah digarang tembakau dijemur 3 sampai 4 hari untuk pengeringan, setelah dirasa cukup tembakau dipacking kemudian disimpan, untuk hasil garangan terdapat 4 varian warna yakni hitam, kuning, merah hitam, merah kuning. Sedang untuk wilayah Bakalan dan Bowongso setelah dirajang tembakau diblender untuk dijadikan bubur, setelah menjadi bubur tembakau siap cetak, dengan dimasukkan kedalam cetakan kayu, tembakau dicetak dengan dipadatkan dengan teknik tradisional pula, kemudian digarang, dijemur dan dipacking, untuk warna hasil olahan Bowongso dan bakalan lebih dominan hitam.
Keistimewaan tembakau garangan dapat disimpang dalam waktu yang lama, semakin lama tembakau semakin mantab dan beraroma harum, karena terjadi proses fermentasi.
Menurut pengolah, bahan bakar terbaik adalah songgol (batang tembakau). Serta bungkus packing terbaik adalah klaras (daun pisang kering).
Terkait asal mula adanya tembakau garangan belum bisa dinyatakan secara pasti sejak kapan adanya, karena pada saat pertama penulis melakukan wawancara dengan pengolah, mereka belum bisa menjawab secara pasti, namun jawaban yang pasti adalah sudah turun temurun dari kakek buyut didaerahnya masing-masing.
Kearifan lokal pengolahan dan pengawetan tembakau menjadi nilai budaya yang perlu dipelajari dan dilestarikan sebagai identitas lokal yang unggul dan bernilai estetik tinggi.
Ataukah mungkin tembakau garangan merupakan bentuk protes petani tembakau di Wonosobo pada era kolonial atas tindakan kesewenang-wenangan, tindakan represif pengusaha kolonial dan sikap feodal pemerintah atas kebijakan penetapan capaian target setoran hasil produksi yang irasional pada waktu itu?.
Ditulis Miftakhul Saleh – Anggota Komunitas Semut Membaca Wonosobo
Editor : Imam
Apa pendapatmu tentang ini :)