Orang Indonesia banyak tipenya. Tidak sedikit yang penuh totalitas. Ia konsisten dan tidak mengenal kata berhenti. Dinamis. Selalu out of the box. Kreatif. Seperti Sardono W Kusuma saat ditanya “anda sudah berbuat banyak. Apa yang anda dapat?”. Ia pun menjawab dengan jawaban filosofis, “kepuasan batin sering tidak ada. Malah yang ada gangguan batin.”
Orang yang penuh totalitas bukanlah orang yang mandeg/berhenti. Ia selalu menemukan ruang baru, ide baru, bahkan jalan keluar baru dalam setiap gerak hidupnya.
Tuhan memerintahkan manusia untuk totalitas dalam hidupnya. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain [Al Insyirah ayat 7].
Orang yang hidup dengan totalitas jelas bukan orang mapan. Ia tidak suka kenyamanan. Baginya dunia ini terlalu sempit untuk seribu kreativitas.
Saya tak tahu mengapa orang yang sering totalitas justru banyak dari kalangan seniman.
Pekerja formal sering terjebak pada rutinitas. Formalitas. Asal Bapak Senang adalah virus latennya.
Dalam latihan saja seorang seniman sudah menempa dirinya seperti saat pentas. Berkali-kali latihan. Capek. Sampai mendapati kerja kerasnya berbuah apresiasi penonton.
Orang sering meremehkan perkara kecil. Kita bisa marah semarah-marahnya karena kecerobohan kita yang remeh-temeh. Tapi ada satu hal yang jarang kita lakukan adalah menjaga yang kecil itu membutuhkan niat dan tekad.
Meremehkan hal kecil bukan cuma membuat kita makin jatuh. Namun membuat kita makin meremehkan perkara kecil dalam hidup.
Totalitas mengajarkan kita untuk komitmen, tanggungjawab dan mengerahkan segala yang Tuhan beri. Saat orang merasa berhenti pada satu titik pencapaian, sering mereka selesai dan menghentikan langkah.
Pencapaian hidup sejatinya tidak pernah berhenti. Kemapanan menghentikan segalanya. Modernitas sering berujung pada sesuatu yang sifatnya “statis”.
Proses
Sebuah totalitas hidup adalah bagian dari proses hidup itu sendiri. Seorang yang tangguh dalam hidup ia menghargai setiap pencapaian dalam hidupnya. Dalam pencapaian itu, ia menghargai tepuk tangan orang. Setelah itu, ia kerahkan daya upayanya lagi mengerjakan aspek lain.
Seseorang yang ahli dalam bidang tertentu misalnya, adalah orang yang penuh totalitas. Ia tidak terpaku pada hambatan dirinya, faktor internal dalam lingkungannya. Ia justru berfokus pada target pencapaian hidup selanjutnya.
“Kerjakan yang lain” tidak sekadar menandakan perlunya gerak hidup. “Kerjakan yang lain” mengandung fase proses satu bidang ke bidang berikutnya. Satu aspek ke aspek yang lainnya. Gerak hidup itu bukan sekadar berhenti pada amatan, ia mewujud dalam tekad dan langkah nyata.
Orang yang memiliki totalitas hidup menganggap dunia ini ladang. Ia bekerja terus-menerus tanpa kenal lelah. Menanam sebanyak-banyaknya. Panen mereka kelak ketika segala ketidakberdayaan akan hinggap dalam tubuh kita.
Saya jadi ingat Haruki Murakami yang mengingatkan kita akan satu masa dimana kita kehabisan energi, kehilangan produktivitas. Masa dimana bukan hanya raga kita yang mulai lemah tetapi juga pikiran kita yang tidak setajam dulu.
Haruki Murakami menolak itu semua dengan olahraga. Dengan berlari, ia ingin pikiran, perasaannya dan juga fisiknya tidak lekas mengalami penurunan.
Haruki dan tentu saja kita sadar bahwa manusia penuh dengan keterbatasan. Namun keterbatasan kita adalah kita yang membuat.
Ibu-ibu di pegunungan, bapak petani di desa-desa memberi kita pelajaran berharga tentang makna hidup totalitas itu.
Pencapaian dalam hidup yang prestisius itu bukan apa-apa. Sebab sejatinya kita memanen dari setiap hal yang kita tanam.
Kedudukan, pangkat, dan jabatan bukan satu pencapaian. Ia adalah bagian dari tanggungjawab kita.
Tugas kita dalam hidup hanya memenuhi tugas kita menjadi manusia. Tidak ada yang mudah memang menjadi pemimpin/khalifah.
Ibarat sudah menjadi ketetapan, maka mundur bukan pilihan. Bendera sudah dipancangkan, pantang untuk diturunkan.
Urip mung sepisan, kudu urip sak apik apike (hidup hanya sekali. Harus hidup sebaik-baiknya).
Penulis adalah Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo dan Pengasuh SD MBS Prambanan
Apa pendapatmu tentang ini :)