Seorang teman pernah berujar, “tidak ada utang tidak ada tantangan.” Orang sering mengatakan bahwa hidup tanpa utang teras lebih ringan. Tidak ada beban. Orang yang tidak punya hutang cenderung lebih fresh menjalani hidup. Ia tidak tertekan, ia tidak merasa ada yang harus diselesaikan. Ia merasa hidup penuh dengan kebebasan.
Orang yang memiliki utang seperti dihimpit beban, memiliki tangggungan. Terlebih saat ada jatuh tempo. Orang bisa kehabisan akal. Banyak orang putus asa dan mengakhiri hidupnya karena terhimpit utang. Tidak ada orang yang bahagia karena banyak utang.
Di era digital, utang seperti rayuan. Terornya melebihi teror bom. Ia hadir tiap menit. Bahasanya halus, sopan. “Mohon maaf bapak ibu, saya hendak menawarkan pinjaman bunga 2%. Syarat mudah cepat hubungi nomor bla bla bla”. Rupanya banyak juga yang tergiur pinjaman seperti ini. Kepepet kata orang Jawa. Bahasa Indonesianya terjepit.
Dalam keadaan terjepit, seseorang dipaksa tidak punya pilihan. Pilihan satu-satunya ya ambil utang atau besok tidak makan.
Bank-bank konvensional dilupakan. Kredit KUR lewat. Sms utang lebih dekat dan lebih cepat datang sebagai pilihan.
Banyak rakyat jadi korban. Mereka tidak melek digital apalagi melek finansial. Dengan leganya ia merasa utang menyelamatkan. Setelah sadar mereka menyesal, utang telah mencekik mereka.
Ibarat maju kena mundur kena, orang desa memang tidak banyak pilihan. Ada banyak yang cuek. Mereka sadar uang SPP, kebutuhan bayar kontrakan, listrik tidak bisa dinego. Ini membuat mereka lekas ambil jalan jitu ; utang.
Teknologi membuat utang makin mudah. Utang seperti tombol “klik”. Kalau anda ikut marketplace, utang semakin mudah lagi. Pake aplikasi berbasis scan KTP saja, kita sudah bisa pinjam utang. Nilai pinjamannya fantastis dalam ukuran rakyat seperti saya. Ini terobosan, ini kemudahan. Tujuan marketplace tentu saja sederhana. Biar pelanggan bisa memenuhi apa yang ia mau. “Beli apa yang kau mau, kalau gak punya duit, utanglah kepadaku”. Begitu kira-kira rayuan marketplace untuk berutang.
Dunia modern memang semakin meruntuhkan batas-batas. Negara tidak lagi diberi ruang seperti dulu. Peranan negara semakin ditiadakan. Orang makin memiliki hak privat lebih luas, lebih jauh. Kebebasan berutang menjadi kebebasan yang tidak lagi dalam urusan negara.
Utang Rasa
Saya suka dengan kata-kata Sujiwa Tedjo. Walau kita tidak punya utang, tetapi utang rasa tidak bisa kita hindari. Utang rasa tidak bisa dibayar dengan uang. Mana mungkin hidup kita bebas dari utang rasa. Setidaknya dalam hidup, kita punya guru yang berjasa dalam hidup kita. Kepada mereka kita memiliki utang. Utang budi, utang rasa.
Presiden Gus Dur pernah diberi bantuan oleh Sultan Brunei Darussalam. Konon itu karena utang rasa. Utang rasa itu malah jadi masalah dan membuat Gus Dur ketiban apes. DPR justru mempermalahkan bantuan Sultan Brunei itu.
Apakah pinjaman yang diberikan China ke Jokowi juga karena utang rasa China ke Indonesia? Kita tidak tahu. Yang pasti bantuan itu fantastis nilainya sampai 235 T. Bantuan itu masuk melalui BUMN dan membuat negara kita makin bergantung. Kalau tidak mampu melunasi, utang itu tetap jadi tanggungan negara.
Saya jadi ingat saat Cak Nun dalam bukunya Kagum Pada Orang Indonesia. Ia menulis “Indonesia itu kebanyakan utang karena tidak mau dianggap sombong.”
Utang memang salah satu cara neolib menjerat negara. Rezim pasar bisa melebihi kekuasaan negara.
Dunia digerakkan oleh globalis. Penjajah gaya baru tidak menenteng senjata apalagi bom. Yang ditenteng adalah strategi, perang sembunyi-sembunyi. Perang lintas negara. Teknologi adalah mediumnya.
Utang seperti tali yang mencekik leher. Ia menjerat sekaligus membunuh. Yang berutang dibuat tidak ada pilihan. Dalam utang ada tawar menawar, ada kesepakatan. Dalam lintas negara, utang adalah alat baru negosiasi.
Saya jadi ingat Tan Malaka, “Merdeka 100%”. Seruannya seperti sayup-sayup tak lagi terdengar. Orang makin tidak percaya pada kemandirian dan berdikari. Seolah berdikari itu mustahil tanpa utang.
Dalam buku Pembangunan Berwawasan Manusia(2021) karangan Coen Hosein Pontoh ditunjukkan fenomena menarik tentang makna demokrasi dan pentingnya berdikari. Kuba menjadi contoh negara bahagia bebas dari ketergantungan termasuk utang. Mereka mandiri dalam urusan kesehatan dan juga jaminan sosial.
Sistem sosialis sering dihujat dan dianggap memasung kebebasan dan nir manusia. Namun kita justru menemukan makna memanusiakan manusia saag menjamin kebutuhan dasarnya salah satunya adalah kesehatan. Rakyat Kuba dibuat utang rasa.
Indonesia masih meniti jalan panjang untuk bebas dari utang, bukan sekadar utang rasa. Saya jadi ingat betul apa yang dikatakan oleh Luhut Binsar Panjaitan dalam Podcast Deddy Corbuzier. Ia mengatakan “tidak ada itu memberi bantuan sukarela. Semua itu ada kesepakatan-kesepakatan. Mereka untung, kita juga harus dapat.”
Mengelola negara ini, apalagi negara besar seperti Indonesia memang tidak boleh main-main. Terjepit utang bukanlah solusi.
Terjepit utang adalah bunuh diri.
Meski kekayaan kita teramat banyak, ia punya batas. Membayar bunga saja kita belum mampu, apalagi melunasinya.
Utang telah membuat kita bak gajah yang dikerangkeng. Kita besar dan tambun, tetapi tidak bisa bergerak bebas.
Penulis adalah Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo dan Pengajar di SD MBS Prambanan
Apa pendapatmu tentang ini :)