Zaman sekarang memang serba cepat. Kecepatan dianggap utama. Bila orang Jawa memiliki peribahasa alon alon waton kelakon maka saat ini orang Jawa sudah berubah alon alon or kelakon. Teknologi mengantarkan kita pada yang cepat, praktis dan mudah.
Anda bisa bayangkan, dahulu memesan pesawat atau kereta amat sangat lama. Terkadang tidak hanya delay, kereta datang terlambat seperti di lagu Iwan Fals adalah biasa. Kini, pemesanan tiket pesawat atau kereta tinggal donload aplikasi dan klik, selesai. Keterlambatan kereta atau delay pesawat pun prosentasenya tinggal 1% karena cuaca atau kecelakaan.
Perubahan kecepatan ini jelas memudahkan manusia. Manusia memang mendamba perubahan yang lebih baik. Inilah bagian terpenting dari alasan teknologi diciptakan.
Teknologi telah menembus batas dan sekat-sekat itu.
Human Error
Kecepatan juga tak selalu sempurna. Orang Jawa juga punya petuah soal ini, ojo kesusu (jangan tergesa-gesa). Tergesa-gesa ini membawa dampak tak baik juga. Ambil contoh sederhana saat kita akan transfer uang dengan e-banking. Saat salah satu digit bisa menyasar ke nomor rekening orang lain. Saat kita pesan tiket kereta api salah memperhatikan jam a.m dan p.m maka terpaksa kita harus mengcancel atau membatalkan ke loket kereta api.
Mesin-mesin yang sudah kita desain sedemikian rupa mau tidak mau memerlukan pengendalian manusia. Manusia tetap menjadi yang memiliki kuasa terhadap teknologi. Dalam mengendalikan teknologi itulah manusia kadang luput. Human error atau kesalahan manusia menjadi aspek yang harus diminimalisir dalam menghadapi era teknologi seperti sekarang.
Dampak era yang serba cepat ini membawa kita pada pergeseran budaya secara besar-besaran. Budaya populer menjadi budaya yang dominan dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari mode pakaian, selera makan, sampai dengan urusan make up. Pasar telah merangsek masuk dalam kehidupan kita. Yang dominan yang akan menang. Sederhananya, kita selera kita ditentukan oleh yang dominan, yang dipilih orang banyak.
Budaya konsumtif
Era “klik” juga membawa dampak krusial dalam perubahan budaya kita. Kemudahan dalam berbelanja dan kemudahan akses belanja online membuat kita menjadi manusia konsumtif. Kompas.com mencatat : berdasarkan laporan Digital 2021 dari Hootsuite dan We Are Social, sebanyak 87,1 persen pengguna internet di Indonesia telah membeli bermacam-macam produk secara online melalui berbagai perangkat elektronik selama beberapa bulan terakhir pada 2020. Trend belanja online membuat orang tidak banyak bergerak (mager). Kita tahu Indonesia adalah orang yang paling malas jalan kaki di seluruh dunia.
Efek lain adalah daya konsumsi manusia Indonesia menjadi meningkat sementara daya cipta, daya produksi menjadi kian menurun. Indonesia menjadi pasar potensial yang tidak pernah habis sehingga dikhawatirkan jumlah pengusaha kreatif kian menurun.
Menjamurnya Hoax
Dahlan Iskan dalam harian Di’sway 24 September 2021 mengungkapkan kekecewaannya. Ia marah karena berdasarkan penelitian tingkat kepercayaan orang Indonesia terhadap media cetak mulai menurun. Trend kepercayaan orang Indonesia yang menurun ini membuatnya pesimis terhadap harapannya akan media cetak.
Orang mulai beralih kepada situs berita online. Maklum orang lebih senang membaca judul berita seperti running text semata. Juru warta pun lebih senang membuat berita yang mengejar tayang. Produk jurnalismenya pun menjadi berkurang kualitasnya. Pengecekan dan juga verifikasi yang menjadi unsur dalam berita menjadi diabaikan. Maklum dalam era serba klik, 9 elemen jurnalisme ala Bill Kovac cenderung disingkirkan.
Rating dan iklan menjadi hal yang dikejar. Viral. Makin viral makin dianggap baik. Didukung dengan tingkat literasi pembaca Indonesia yang minim, maka menjadi keberuntungan media atau situs online meraup keuntungan. Tapi diam-diam hal ini merusak jurnalisme. Dahlan Iskan sendiri menjadi pesimis akan masa depan jurnalisme Indonesia ke depan.
Yang praktis dan instant memang menggoda, tapi resiko dan juga pertaruhannya amat dalam. Teknologi memang begitu maju dan pesat mendominasi dalam kehidupan kita, namun ia memiliki kelemahan yang mesti kita atasi. Seperti kehebatannya yang luar biasa, ia juga memiliki daya hancur yang dahsyat. Ia sama seperti manusia yang memiliki kehebatan dan daya potensi luar biasa, tetapi teramat rapuh saat diserbu “patah hati”. Didi Kempot menyebutnya Ambyar Lurr….
Penulis adalah Direktur SCHOOL MANAGEMENT dan Guru di SD MBS Prambanan
Apa pendapatmu tentang ini :)