Oleh : Sobiatun
Hari Kartini setiap tahunnya kita peringati pada tanggal 21 April yang bertepatan dengan hari lahirnya. Tak hanya sekolah dan instansi pemerintah, bahkan mall, tv show, juga merayakan hari pahlawan emansipasi itu. Mereka merayakan dengan memakai kebaya, berdandan ala Jawa, memberikan diskon kepada konsumen, atau fashion show. Apakah kita hanya mengenal Kartini sebagai sosok perempuan Jawa yang berkebaya?
Kartini mengingatkan kita pada sosok perempuan yang gagah dan merdeka atas cita-citanya. Apakah kartini hidup di lingkungan yang ideal? Jika jawabannya iya, kemungkinan namanya tidak sebesar sekarang bisa jadi pula tidak terkenang sampai hari ini. Nama yang dikenang dalam lagu, jalan, judul buku atau organisasi mengandung daya besar dalam melawan belenggu.
Sebut saja lingkungan toxic, atau tidak sefrekuensi. Itulah kira-kira ketika kita membayangkan Kartini bersama eranya dengan istilah zaman sekarang. Apa yang dimiliki Kartini saat itu? Gelar Raden Ajeng yang sudah berganti menjadi Raden Ayu bukanlah tongkat ajaib yang mampu menyulap ketidakberdayaan perempuan masa itu menjadi merdeka.Tak sekedar persoalan kehendak, lebih dari itu. Seperti kita ingat melalui sejarah, kolonialisme sudah menjarah harkat kemanusiaan bangsa. Diperah bagai binatang.
Selanjutnya, adat yang masih hidup pada zaman itu. Perempuan seolah bukan manusia yang memiliki hak asasi manusia. Perempuan adalah mesin domestik. Perempuan adalah hamba. Jangankan untuk sekolah, untuk berkhayal menjadi merdeka atas diri sendiri saja tidak mampu. Kolonialisme dan Feodalisme berlarut-larut menjadi duka bagi perempuan dan bangsa.
Kartini bertanya-tanya. Keprihatinan menyayat nuraninya. Kartini perempuan hebat melesat karena pemikirannya. Di saat perempuan pada masa itu bukanlah apa-apa, namun Kartini memikirkan perempuan berhak menjadi manusia seutuhnya. Seperti buku yang menginspirasinya. Max Havelaar. Tugas manusia adalah menjadi manusia. Bergegaslah dia menuliskan kedukaannya.
Seorang diri, dia menulis walaupun dia sendiri tidak resmi belajar sastra. Kartini melawan sepi. Sendirian memikirkan nasib kaumnya, nasib bangsanya di saat dirinya sendiri tidak sepenuhnya merdeka. Didalam kepungan feodalisme dan kolonialisme surat-suratnya lahir. Lalu diterbangkannya menembus tembok-tembok rumahnya dan melintasi zaman. Kartini tidak berperang karena memang diabukanlah panglima yang memiliki ribuan prajurit. Namun, dia memiliki empati dan cita-cita. Berjuang dengan segala keterbatasan dan ketidakberdayaan inilah yang membuat namanya dikenal.
Dia tulis dan mengirimkan kepada teman-temannya. Agar dunia melihat lebih dalam apa yang dialami bangsanya. Perempuan yang memiliki bakat hidup dengan kemiskinan. Perempuan yang taat, masih saja dimadu oleh suaminya. Perempuan yang dituntut mendidik anak, namun dilarang belajar. Itulah yang disampaikan Kartini melalui surat-suratnya. Kartini hanya seorang diri. Melawan kesepiannya demi kaumnya, demi bangsanya.
Kesepian seorang Kartini tak membuatnya gentar namun membuatnya menjadi berani. Inilah yang menjadikan Kartini seorang perempuan yang gigih. Bisakah kita bayangkan, apakah jika kita pergi kemasa lalu itu, kita akan sepemikiran dengan Kartini? Hidup dengan kepungan zaman yang tidak sehat. Ataukah kita hendak membayangkan saat zaman semodern sekarang? Apakah kita juga sudah kuasa akan cita-cita diri kita? Lalu ikut memikirkan nasib bangsa kita? Ataukah kita hanya terlena oleh deretan koleksi sepatu atau tas, atau materil lainnya?
*Penulis adalah aktivis perempuan di Batang – Jawa Tengah
Apa pendapatmu tentang ini :)