Oleh : Arif Yudistira
Setiap kematian selalu memunculkan misteri. Disanalah Kuasa Tuhan bermain, dan kita tahu Tuhan selalu lebih puitis ketimbang manusia. Mbah Mun meninggal tanggal 06 Agustus 2019 tepat hari Selasa di Makkah Al-Mukaromah. Dari media sosial anaknya Taj Yasin Maimun saya menengok kisah puitis kematian Mbah Mun.
Konon, anaknya telah mencegah dan berat sekali mengizinkan Abah untuk naik haji. Tapi Mbah Mun tetap nekat. Dan kita tahu, disana ia justru bertemu sang kekasih, di rumah-Nya. Kematian Mbah Mun kebetulan bertepatan dengan kematian bulek saya. Saya tak mau menarik kematian Mbah Mun dengan bulek saya. Hanya saja, kematiannya yang mendadak karena tak ada kabar sebelumnya membuat saya berdecak kaget.
Tapi sekali lagi, disanalah kuasa yang punya nyawa. Sebenarnya untuk apa kita hidup?. Pertanyaan ini begitu eksistensialis dan penting. Sampai ada buku yang membahas detail tentang kematian, misterinya maupun sisi filsafat kematian. Pada akhirnya, hidup ini adalah untuk menjemput kematian.
Mbah Mun adalah teladan yang sempurna dari hidup itu sendiri. Kematian bukanlah sesuatu yang patut ditakuti, tapi dijemput dengan senang hati. “Orang mana yang akan berjumpa dengan kekasihnya cemberut dan susah?”. Kematian sama halnya dengan bertemu dengan kekasih. Memang tak bisa dipungkiri, Rasul sendiri mengalami kematian dengan rasa sakit pula. Apa yang akan kita tinggalkan setelah kematian itulah yang penting. Apa yang sudah kita buat untuk masa yang panjang. Untuk masa yang bahkan setelah kita paripurna, orang masih memakai, orang masih mengkaji, orang masih membincangkan, menyebut nama kita untuk memetic sejumput yang sudah kita beri.
Rasul sendiri memberi contoh, umat yang jauh setelah kematiannya yang disebut, diucapkan, dicintainya. Dedikasi hidupnya adalah untuk umatnya. Kita tahu, Rasul adalah sosok yang sungguh jauh dari egois. Ia telah melihat surga, tapi kembali ke bumi untuk mengurusi manusia, mengurusi umatnya. Mbah Mun, apa yang sudah dilakukan Mbah Mun?. kita cukup beruntung punya teknologi yang bisa menjangkau semua orang dalam waktu cepat. Saat Mbah Mun meninggal di Mekkah, tiba-tiba banyak orang mengunggah pesan dari Mbah Mun. Apa yang unik dibalik fenomena ini?. Orang mati meninggalkan nama. Orang mati yang dicari adalah apa yang ditinggalkannya semasa hidup. Dan kita tahu, Mbah Mun meninggalkan itu. Kenangan, petuah, pesan kepada orang-orang. Kepada tamunya, kepada muridnya, kepada santrinya, kepada pejabat yang pernah bertandang ke rumahnya. Kepada siapa saja yang mengenang yang baik darinya. Dalam hal ini, kita sering terlambat, sering gagap. Barangkali memang kita tak serapi Eropa. Mereka memiliki catatan, tulisan, rapi, terawat.
Sedangkan di Indonesia, pengajian saja kadang tak bawa alat tulis untuk menulis. Konon, itulah kehebatan Indonesia, mereka punya ilmu tingkat tinggi. Sehingga meresap dalam sanubari, menyatu dalam laku. Kita tahu, Mbah Mun sudah menulis kitab. Kita berharap anak muda NU ada yang menterjemahkan dan membaginya ke publik.
Meninggalnya Mbah Moen mengingatkan kita pada Kota Rembang. Daerah pinggiran, desa, yang masih subur dikelilingi hutan. Rembang mengingatkan kita pula pada ibu-ibu kartini Kendeng yang gigih itu. Mbah Mun tinggal dan hidup dalam khasanah orang desa. Tradisi islam desa, yang masih kuat, kental, dan gigih. Mbah Mun mengajarkan kita untuk menepi, sepi, jauh dari hiruk pikuk. Tapi tak melupakan kerja, memberi, berbuat banyak. Dan etos itu yang dipunya NU dan Kiai-Kiai dulu saat belum gencar-gencarnya urusan politik. Tapi jangan terburu-buru Mbah Mun apolitis. Mbah Mun juga aktif dalam dunia politik pula, bahkan sampai menjadi anggota dewan. Tapi kesederhanaan Mbah Mun yang lekat dengan budaya desa layak jadi tauladan bagi kita. Kiai, dengan begitu akan menjadi melekat dalam di hati para santrinya. Dan santri di masa sekarang, barangkali sudah begitu meluas. Dengan begitu Mbah Mun sedari dulu memang bukan milik orang NU semata, tapi juga milik Indonesia. Dari sisi dan aspek ini, saya rasa para Kiai di Indonesia memang perlu belajar kepada Mbah Mun. Sehingga menjadi Kiai tidak sekterian, dan condong pada kelompok tertentu.
Saat Kiai sudah menjadi milik umat, maka kontribusi dan perannya juga sudah meluas, tidak dalam skup kecil. Meski ia tinggal di kolong tikus sekalipun. Mbah Mun juga memikirkan dan dengan kharismatiknya mengurusi soal-soal kebangsaan. Ia secara tak langsung menjadi magnet, memikat, dan secara tak langsung bisa berperan disana. Meski kita tahu, di pemberitaan sering kontroversial, sering tak utuh. Dan kita tahu, darisana rahasia dan kearifan ilmu dari Kiai tetap terjaga. Sebab yang dalam dan maknawi tak harus diungkap secara vulgar selalu.
Mbah Mun telah menuntaskan tugas kemanusiaannya di bumi. Sebagai Kiai, sebagai anggota dewan, sebagai manusia. Saat kematian datang, ilmu yang diwariskan oleh seseorang itulah yang akan membawa kita abadi setelah mati. Saya percaya, masih banyak ilmu yang ditulis Mbah Mun di telinga pendengarnya, di kalangan santrinya, di kalangan para murid dan cantriknya. Tugas kitalah yang meneruskan dan menyampaikan kebajikan agar semesta mewarisi kematian puitisnya. Dan dengan begitu, tugas kita sebagai manusia terbayarkan, paripurna. Apa tugas kita sebagai manusia?, Mbah Mun telah memberi kita tauladan, “Mendekatlah pada Kekasih, sedekat-dekatnya, bahkan hingga ajalmu tiba”.
*) Pengelola Rubrik Wedangan Terasjateng.com, Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo, Kepala Sekolah SMK Citra Medika Sukoharjo
Apa pendapatmu tentang ini :)