TERASJATENG.COM | SEMARANG – Mengidap sakit, apalagi penyakit kronis bisa membuat orang stress dan minder. Tak jarang orang menjadi kurang percaya diri kala kemampuan fisiknya menurun.
Berbeda dengan Teguh Yuana, warga Banyumanik, Semarang. Sejak divonis gagal ginjal 2 tahun silam, ia tetap enjoy menikmati kehidupannya.
Teguh, pria kelahiran Tulungagung 21 Januari 1970 tersebut merupakan mantan orator mahasiswa, pernah menjadi aktivis Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Ia sangat piawai berorasi.
Ia juga sempat berkarier di bidang politik. Namun, akibat pola hidup tak sehat, tahun 2004 ia positif terkena diabetes dan kemudian 2016 divonis menderita gagal ginjal. Kemampuan fisiknya menurun, daya ingatnya mulai berkurang. Bahkan saat kondisi ngedrop ia bisa tak sadarkan diri dan meracau.
Awalnya ia memang sempat stress dan malu karena kehilangan kegagahannya. Apalagi kakinya juga terancam diamputasi akibat luka yang tak kunjung sembuh.
Pernah suatu kali ia ngedrop. Dua hari tak sadar dan terus meracau. Katanya ia sempat bertemu Gus Dur, Pangeran Diponegoro dan Syeh Abdul Jaelani.
”Gus Dur pakai sorban Pangeran Diponegoro, Pangeran Diponegoro pakai peci Gus Dur, Syeh Abdul Qodir Jaelani pakai topi dayak”, cerita Teguh.
Sudah dua tahun ini, dua kali dalam sepekan Teguh harus bolak-balik ke klinik menjalani cuci darah atau hemodialisis (HD). Setelah sekian lama, ia menjadi terbiasa. Ia meyakini jika Tuhan telah memberikan garis kehidupannya seperti ini. Penyakit dan kesembuhan, hidup dan mati ada ditangan Tuhan.
Percaya dirinya pun kembali muncul. Bahkan Teguh menganggap dirinya seorang selebriti kondang yang tiap minggunya menjalani perawatan tubuh. Pergi ke klinik hemodialisis ia rasakan ibarat pergi ke salon kecantikan.
“Sekarang saya merasa menjadi seorang selebritis yang 4 jam dalam satu minggu harus pedicure manicure bertemu perawat cantik”, ungkapnya saat tampil dalam seminar bertajuk Penatalaksanaan Terkini Pasien Gagal Ginjal, di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang, Sabtu, (12/5).
Teguh mengaku, termotivasi mantan Presiden Republik Indonesia, KH. Abdur Rahman Wahid. Di balik sosoknya sebagai presiden, tokoh ulama dan guru bangsa, ia merupakan pasien ginjal yang rutin menjalani hemodialisa (cuci darah).
Sebuah referensi mengatakan bahwa Gus Dur, sapaan akrabnya, menderita penyakit kronis tersebut sejak 1985. Namun, ia tetap terlihat tenang dan enjoy saat menjadi kepala negara meskipun kemampuan fisiknya satu persatu mulai berkurang.
Teguh tidak sendiri. Ia ditemani isterinya, Nikmah, yang selalu setia mendampinginya. Keduanya berbagi cerita pengalamannya menjadi penderita dan pendamping gagal ginjal kepada audiens yang berlatar dokter, perawat, pasien gagal ginjal serta keluarga pendamping.
Nikmah mengatakan di balik ketegarannya mendampingi sang suami, ada teman yang selalu membantunya. Mereka selalu siap ketika tiba-tiba Nikmah menelpon dan membutuhkan bantuan. “Jika biasanya ada suami siaga, saya ada teman siaga”, pungkas Nikmah dalam forum.
Profesi Nikmah adalah sebagai dosen di Politeknik Negeri Semarang. Selain mengajar, Nikmah punya kesibukan lainnya. Di Rumahnya, Jl. Pulesari, Jabungan, Banyumanik, Semarang ia membuka rumah baca Sampun Maos. Ia telaten mengajak anak-anak di sekitar rumahnya gemar membaca dan berkreasi.
Di tengah kesibukannya menjadi dosen, tumpuan keluarga dan mengelola rumah baca, ia menyempatkan menulis kisah-kisahnya. Tahun 2017 lalu, Nikmah merilis buku Dosen Kenthir Belajar Nyetir, yang berangkat dari pengalamannya belajar menyetir mobil sebagai konsekuensi mendampingi suami yang gagal ginjal.
Dalam waktu dekat, Nikmah bersama penerbit Edents Publika akan melaunching buku kedua berjudul Cinta Dibalik Kelambu Hemodialisis, yang menceritakan kisah-kisahnya mendampingi sang suami yang gagal ginjal.
(A8)
Apa pendapatmu tentang ini :)